Posisi

106 20 3
                                    

Calvin's POV 

Dan dari situlah semua berawal. Aku sendiri tidak pernah menyangka bahwa ketidakberanian untuk menyangkal panggilan Clariss kala itu akan membawaku untuk menggantikan posisi kakak semenitku itu. Entah itu sebuah yang salah, atau memang sesuatu yang harus dilakukan untuk tidak memperburuk keadaan, atau memang itu juga sebuah pembenaran belaka untuk sebuah awal yang tidak jujur.  

Setiap detik yang aku alami dengan menempati posisi Carlos adalah keterpaksaan yang berubah menjadi kebiasaan, dan bahkan aku tidak lagi mengenal diri sendiri sebagai Calvin. Identitas Carlos dalam diriku selama 8 tahun belakangan ini sudah seutuhnya melebur ke dalam diriku sendiri, sehingga tidak ada lagi jiwa seorang Calvin disini; Calvin adalah yang meninggal saat itu, bukannya Carlos. Calvin lah yang mengalami kecelakaan itu, bukan Carlos. Calvinlah yang ditangisi di rumah duka itu bukan Carlos. 

Tapi memang aku benar-benar hidup sebagai Carlos. Tidur di kamarnya, membaca buku-bukunya, lanjut kuliah di kampusnya, menekuni hobbynya, mengikuti gaya rambutnya, makan makanan kesukaannya, meneruskan mimpinya, menghidupkan harapannya,  dan melewati hari bersama Clarissa dengan caranya.   

"Calvin, maafkan kami, Nak. Tapi demi Clarissa, bisakah kamu hidup sebagai Carlos sementara saja? Setelah keadaan membaik, kita akan pelan-pelan memberitahunya. Dia benar-benar terguncang, dan menurut dokter, alam bawah sadarnya memblok satu kenangan mengerikan itu aja, jadi dia akan merasa tidak terjadi apa-apa. Appa akan mengatur media agar tidak memberitakan tentang kematian Carlos."

Itu perkataan dari appa yang sudah merobohkan dunia seorang Calvin; dan bukan demi orang lain, semata-mata demi Clarissa saja aku mau melakukan hal gila ini. 

Tapi yang katanya sementara itu, bisa saja malah selamanya. Ketidakberanian kami menyengsarakan Clarissa, dan jeleknya, kami terus saja tidak berani. Alasan "bagaimana kalau terjadi apa-apa pada Clarissa?"  mengungkung kejujuran kami. Akhirnya kami menunggu-nunggu saat yang "tepat" itu dan yang akhirnya datang dengan cara yang paling tidak tepat. 

Setelah Clarissa divonis Ochlophobia, kami pikir itu hanya sementara; nah kan, lagi-lagi pikiran yang sama: SEMENTARA. Nyatanya, semuanya memburuk dan keberanian kami tambah menciut. Alhasil, Clarissa "dikurung". Adik perempuanku satu-satunya itu melewati begitu banyak kengerian dalam hidup, dan obat ampuh versi kami adalah menjauhkannya dari hal yang membuatnya sakit, yang justru bertolak belakang dengan anjuran psikiater A dan B bahwa Clarissa harusnya berusaha berdamai dengan situasi yang menyakitkan itu; keramaian dan masa lalunya. 

Jika ada yang bisa disalahkan dalam semua skenario ini, pastinya aku. Seandainya aku langsung menyangkal panggilan Clarissa, seandainya aku tidak mengiyakan dipanggilnya sebagai Carlos, seandainya aku bisa membuat Clarissa dan orangtuaku menerima dan mencintaiku sebagai Calvin, seandainya aku bisa menerima diriku sendiri sebagai Calvin, dan banyak seandainya yang lain.

Dan satu lagi, seandainya aku bisa mengeluarkan Clarissa lebih awal dari "kurungan demi kebaikannya" yang ternyata malah berdampak semakin buruk terhadap semua terapinya.

Sekarang, ketika kenyataan itu menamparnya kuat, ketika kepingan yang hilang itu menerobos masuk menuju tempatnya, ketika celah yang kosong itu ditempati kembali oleh memori mengerikan itu, Clarissa tidak bisa menerimanya dengan baik. Dia sangat tidak baik-baik saja, dan semua itu kesalahanku. 

"Clarissa akan baik-baik saja. Jangan salahkan dirimu." 

Suara appa yang dingin memecah keheningan ruangan setelah teriakan histeris Clarissa kesekian kalinya hari ini. Kali ini dia tertidur menyamping tapi bahunya yang lemah masih teramat menyakitkan buatku.

"Iyakah?" jawabku sinis. "Lihat aja hasilnya. Inikah saat yang tepat itu? Kebohongan kita 8 tahun ini nggak bisa diterimanya dengan baik, appa." 

IN BETWEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang