"Don't you know I'm no good for you?
I've learned to lose you, can't afford to
Tore my shirt to stop you bleedin'
But nothin' ever stops you leavin'
Quiet when I'm comin' home and I'm on my own
I could lie, say I like it like that, like it like that"
Billie Eillis - When the party's overClarissa's POV
Terkadang kita terlalu banyak berlari sehingga tidak tahu cara berhenti. Ketika masanya tiba, waktu malah tidak memberi kita ruang untuk mempelajari rasa sakit. Anehnya, lintas lariku hanya seputar kungkungan sebuah kesepian, namun panjangnya tak terkira. Ketika rasa sepi itu direnggut, kehangatan yang mencuat masuk menimbulkan rasa sakit karena adanya rasa asing yang menyertainya. Tapi, belum juga kita berdamai dengan waktu demi penyesuaian dengan keasingan yang menyenangkan itu, eh kita malah kembali berlari. Dan rasa sakitnya menghantam berkali-kali lipat lebih mengenaskan dari yang pertama.
Kali ini aku sudah kembali berlari lagi, menjauhi kehangatan yang sudah mau menghampiri dinginnya hari-hariku. Sakitnya semakin terasa ketika aku sendiri yang memutuskan untuk mengucap selamat tinggal pada rasa hangat itu. Bukan salam "sampai jumpa lagi" seperti yang dilontarkannya sebelum berlalu, tapi ucapan "selamat tinggal" yang saat itu kuteriakan dalam diam.
Kita semua pernah diberi asupan pikiran kalau melepaskan bukan sesuatu yang indah. Memang tidak. Siapa yang mau melepas segenggam kehangatan itu? Siapa yang mau merelakan sinar menenangkan itu? Lihat, aku punya segudang resume dalam hal berkiprah di dunia pergi dan melepaskan, dan biarpun sudah berkali-kali melaluinya, aku masih belum bisa menanggapinya dengan baik.
Dengan melepas tangannya, aku sudah membiarkan kesempatan untuk kembali mengecap rasa bahagia, berlalu pergi. Dan dalam gelap malam itu, aku kembali berteman dengan semua kenangan tentang Joshua, aromanya yang masih tersebar di sudut-sudut kamarku, jejak genggamnya yang masih terasa, dan tatapan matanya yang ingin membuatku yakin; tapi dengan hitungan 1 - 20 yang tidak pernah berhenti berotasi, aku tahu bahwa Joshua dan semua waktu indah dengannya hanya akan jadi bekal melewati hari.
Ada rasa menyesal yang kini tengah meringkuk di sudut terjauh logika dan sentimenku, tapi rasa tidak percaya diri dan ketakutan mengunggulinya. Menerimanya lagi berarti membuka kesempatan untuk luka lainnya yang bisa datang di masa depan, dan aku tidak tahu apakah aku cukup kuat nantinya untuk mengatasi luka itu, yang bisa berujung pada rasa sakit untuk dirinya juga. Aku sendiri masih berkecimpung dengan cacat yang tidak mau berdamai dengan keseharianku.
Di sisi lainnya, aku menangisi situasi dengan adanya orang-orang yang pintar bilang "sayang" dan "ini yang terbaik buatmu" tapi tidak pernah bertanya "apa yang kau butuhkan untuk hidupmu". Dan lebih menyakitkan lagi, aku terlanjur terbiasa hidup dengan itu semua sehingga rasa cinta dan keterbukaan yang Joshua tawarkan adalah ironi; mencipta kesakitan dan kebahagiaan di saat yang sama. Sehingga, hari ini aku dan diriku bersepakat untuk mengakhirinya dan mengucap selamat tinggal pada Joshua, pada rasa cinta yang bisa aku tunjukan, dan pada bahagia yang tadinya masih menunggu di ambang pintu.
Tangisku lalu pecah di tengah malam itu. Kenapa semuanya jadi sesulit ini? Kenapa tidak pernah ada "tanda setuju" untuk rasa bahagia yang bisa bertahan sedikit lebih lama? Kenapa sebuah pengasingan jadi terasa lebih asing? Kenapa suara tawa kesepian jadi terdengar lebih kencang? Kenapa yang diharapkan untuk ada, hanya pintar berkata "ada" tapi tidak pernah memberi sosok pada keberadaan itu? Kenapa rasa nyaman sebuah "rumah" hanya terletak pada sekat-sekatnya yang tinggi dan lembab? Kenapa ada terlalu banyak teriakan tapi tidak pernah ada yang mendengar?
Pintu kamar terketuk pelan. Hari sudah terlampau larut dan biasanya tidak akan ada yang mau lagi masuk ke kamarku di jam ini. Itu eomma. Salah satu sosok yang aku tahu selalu menangisiku dari jauh atau yang meneriakan pedulinya lewat suara, tapi tidak memberi dekap. Tiap kali melihatnya, aku selalu punya ingatan samar akan kehangatan yang diberi lewat semua waktu yang dilaluinya bersamaku, tapi semuanya semakin bertambah suram karena tertutupnya ingatan itu dengan kesibukannya sehingga hanya bisa memandangku dari jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
IN BETWEEN
General FictionSebuah "in between" menempatkan seseorang di antara dua kondisi yang ekstrem. Kisah "in between" pun bisa berbeda versinya; ada yang bisa saja terhimpit pada rasa bahagia yang teramat kuat, pada kesedihan yang mencekam, atau ada pada kegelisahan ya...