Kisah Biasa (yang Istimewa)

125 25 9
                                    

Setiap orang punya preferensi yang berbeda terhadap tipe romansa yang dijalani. Kisah cintaku yang masih berusia satu bulan ini dicukupi dengan cerita-cerita sederhana; masak bersama, dia  menemaniku membaca sembari aku menemaninya memecahkan formula-formula matematika rumit yang digemarinya dengan terkadang tangannya diam-diam mencuri genggamku, memelintir-melintir kecil rambutku, atau kakinya mulai menendang-nendang pelan pertanda bosan. Sering pula cerita kami berbaur dengan Rain dan Erfam yang perlu dipaksa menghabiskan semalam suntuk bermainUNO atau monopoli. Terkadang kami hanya duduk bersebelahan dengan aku dalam dekapnya berbagi cerita tentang apapun yang sudah kami lewati hari itu. 

Sudah sebulan bersama, masih terlalu banyak fans-nya yang ingin tahu lebih banyak tentangku. Bahkan dalam 3 atau 4 kesempatan, aku dihampiri 8 - 10 cewek sekaligus, bergerombolan. Tapi Erfam, Rain yang kini sudah masuk lingkup pertemananku, dan pastinya Joshua, selalu saja punya cara untuk membuatku keluar dari momen-momen tidak mengenakan itu. 

Ketika terperangkap sendirian bersama sekelompok cewek-cewek beringas pencinta Joshua Hammal, dan ketika serangan panik tinggal satu dua detik lagi muncul, Erfam bisa tiba-tiba nongol entah dari mana dengan jargon saktinya, "Hey, Hey Clarissa, aku lapar, ayo  makan." Lalu merangkul bahuku, dan sedikit menyeretku pergi. 

Atau Rain, dengan postur tubuh super menjulang tinggi, bisa membuat wanita-wanita itu membubarkan diri hanya dengan sorotan matanya tajam, lalu tanpa bersuara sedikitpun, aku pun membuat diriku mengikutnya pergi. 

Dan Joshua, yang dengan cepat segera menggandeng tanganku mesra dari belakang, lalu bilang "Hai cantik" begitu gamblangnya di depan wajah siap terkam cewek-cewek itu, mengedipkan matanya padaku, memberikan senyum semanis mungkin, membawaku pergi, dan meninggalkan mereka yang tercengang-cengang melihat kami. 

Joshua tidak malu memberi tangannya untukku di depan umum, dengan bangganya memperkenalkanku sebagai pacarnya, dan selalu bisa membaca keadaanku. Rasa terima kasih membanjiriku karena Joshua tidak pernah menuntut apapun yang di luar kendaliku. Yang membuatku semakin takjub, dia selalu tahu dan paham semua situasi yang tidak membuatku nyaman, bahkan tanpa kukatakan terlebih dahulu. Seakan dia tahu semua ceritaku, bahkan tanpa ku ceritakan lebih dulu. 

Ngomong-ngomong soal terapi, Joshua tidak pernah absen menemaniku kesana. "Aku nggak akan pernah masuk kesana kecuali kamu yang minta, Clarissa," katanya di satu sore pertama mengantarku. Dia tahu kapan harus maju, dan paham kapan harus menunggu; tanpa paksaan, tanpa tuntutan. 

Sayangnya, terapiku tidak mengalami kemajuan. Aku masih selalu teriak lalu jatuh pingsan saat diberi stimulus serupa realita. Untungnya ruangan dokter James kedap suara, kalau tidak, entah berapa kali Joshua akan berlari-lari masuk ke ruangan itu tiap kali mendengar riak histerisku.

"Dok, maaf saya nggak tahu gimana lagi cara mengatasinya," kataku di sabtu ke sekian periode terapi. 

"Clarissa, saya cuma mau kamu yakin kalau semua bisa teratasi," sanggah dokter James, tegas. "Semua butuh proses. Jangan pernah menyerah. Toh terapinya baru dua bulan. We cannot expect it will get over that easily. Apalagi kamu sudah mengalami ini bertahun-tahun. Progress terbaikmu sejauh ini adalah kamu nggak pernah nyerah." 

Aku sendiri tidak yakin apakah ini sebenarnya gerakan tidak menyerah, atau malah hanya perkara rutinitas yang sudah mengambil keseharian Rabu dan Sabtu soreku. Jalani saja, pasti ada penyelesaiannya nanti. Entah kapan. 

"Clarissa..." panggil dokter James sebelum aku keluar dari ruangannya sore itu. 

"Ini saatnya kamu harus lebih membuka diri pada Joshua. Kamu membutuhkan bantuannya." 

Aku belum berani, kataku dalam hati. 

"Kamu tahu betul bagaimana perasaannya terhadapmu, Clarissa. Dia sangat tulus. Saya sendiri heran karena dia tidak pernah menunjukkan rasa sayangnya terhadap wanita seperti ini. Tapi, kalau dipikir-pikir, kami sekeluarga pada dasarnya seperti itu. When we love someone, we really do. Jangan sampai rasa takutmu malah memperbesar jarak yang tidak perlu." 

IN BETWEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang