Dan aku bertemu
Namun kepingannya tak utuh
Bagian itu masih semu
Rupanya masih abu-abu
Terhimpit mungkin belum dalam kataku
Terpana bisa jadi sudah dalam kasusku
Banyak sekali ketidaksengajaan dalam hidup, yang kemudian di satu titik di dalam hidup kita pahami sebagai "takdir". Namun di setiap proses sebelum mencapai definisi itu, kita hanya percaya bahwa itu kebetulan. Untuk saat ini, aku memahami Joshua sebagai sebuah kebetulan. Kebetulan kami bertemu di taman, kebetulan kami berpapasan, kebetulan waktu kami bertautan di sebuah klinik. Dan hari ini, kebetulan dia memintaku makan malam bareng. Kadang, itu cukup dulu buat sekarang. Ekspektasi berlebih tidak memuluskan perasaan.
****
Right! Ini bukan soal baju apa yang hendak ku pakai, tapi ini masalah kesiapan hati. Makan malam bersama Joshua? Kenapa semuanya berasa begitu cepat? Kangen? Rindu? Aku bahkan belum bisa memilah-milah perasaanku sendiri untuk tahu jenis perasaan mana yang namanya rindu. Tapi Joshua, dengan begitu percaya dirinya menyampaikan itu; tanpa memikirkan konsekuensi perkataanya bagi malam dan hari panjang yang ku lalui.
Sekarang masalahnya adalah bagaimana aku menyampaikan padanya kalau aku tidak bisa bepergian ke tempat ramai? Bisakah aku menahan serangan panik lainnya jika dia membawaku makan malam di tempat yang tidak bisa ku tolerir secara mental? Keringat dingin menjalari leherku. Aku bingung. Apa yang harus ku katakan pada Jos6hua nantinya? Kalau aku terus terang, dia pasti akan langsung ilfeel. Siapa juga yang mau kencan dengan orang aneh sepertiku? Kencan? Inikah yang akan kami lakukan?
Lawan. Lawan perasaan inferior ini, Clarissa. Kamu pasti bisa. Jangan katakan apapun padanya. Kamu pasti bisa menahannya.
Aku mengambil obat penenang yang pernah diresepkan psikiater terakhir yang ku temui di Seoul, sebelum aku kabur ke Jakarta. Obat ini pasti bisa menahan serangan apapun yang ku alami. Hanya tindakan pencegahan.
Aku mengenakan dress favoritku, membalut bibirku dengan lipstik seadanya, memakai sedikit riasan wajah, dan menata rambutku.
"Clarissa..."
Itu dia. Dia datang. Aku mengatur pernapasanku sebaik mungkin dan keluar membuka pintu.
Dia tampil casual dengan baju hitam lengan panjang. Dia bersandar di dinding dan menengok ke arahku. Begitu tampan.
"Kamu cantik." kata-kata itu yang pertama keluar darinya.
"Thank you. Hari ini aja?" Astaga, dari mana aku mendapat keberanian untuk balik menggodanya.
"Kalau aku jujur, date kita bisa gagal."
Aku hanya bisa tertawa lagi, dibuatnya.
"Joshua..."
KAMU SEDANG MEMBACA
IN BETWEEN
Ficção GeralSebuah "in between" menempatkan seseorang di antara dua kondisi yang ekstrem. Kisah "in between" pun bisa berbeda versinya; ada yang bisa saja terhimpit pada rasa bahagia yang teramat kuat, pada kesedihan yang mencekam, atau ada pada kegelisahan ya...