Kembali ke Awal

109 15 8
                                    

Pada mulanya rumah mewah itu berisi kelengangan. Letaknya di jajaran rumah elite lain tidak membantu mengisi kekosongan. Warna cat melankolisnya tidak memberi warna lain dalam arti filosofis. Perabotnya yang terlihat mahal akhirnya cuma jadi pajangan karena jarang dipakai. Suara yang kadang terdengar hanya saling panggil memanggil nama jika diperlukan. Penghuni utamanya minim interaksi, dan para penghuni pendukung (dibaca: maids) cuma pandai berbisik di belakang.   

Rumah itu berisi pria gagah berwatak keras yang biasa dipanggil appa; seorang wanita cantik nan anggun yang tidak banyak bicara namun terlampau perhatian yang dipanggil eomma; dan kedua anak laki-laki mereka. Di usia si anak laki pertama yang ke-5, dia dibawa oleh kakek neneknya ke Indonesia untuk hidup bersama mereka. Alhasil, tinggal-lah mereka bertiga. Rumah itu sesungguhnya bernyawa, tapi tak ada rasanya. Tak ada cengkrama, hanya 3 anggota keluarga yang saling melempar kasih lewat udara, dan beberapa maids berwajah tegang.

Si anak laki tumbuh menjadi anak penurut dan suka belajar. Sejak mengenal huruf, buku-buku jadi teman utamanya gegara ditinggal pergi orangtua super sibuk yang syukur-syukur bisa dijumpainya saat malam. Dia paling banyak bicara hanya lewat telpon saluran internasional dengan saudara laki-laki lainnya yang kini terpisah jarak.  

Interaksi dalam rupa percakapan adalah satu yang paling penting dalam hubungan manusia; tapi mereka di dalam sana tidak bicara, mereka mendengarkan lagu dan hanya diam, menonton TV, membaca buku, mengerjakan tugas, memasak, dan makan. Tidak ada yang berbicara maka tidak ada pula yang mendengar. Jika ada sesuatu yang perlu dirubah, sekiranya mereka harus belajar tentang prajurit-prajurit perang yang selalu berkumpul mengelilingi api dan bercerita.   

Tapi sekaku apapun itu, keluarga akan kedatangan momen yang merubah paradigma preskriptif aneh itu.  Beritanya datang setelah 10 tahun lamanya. Ya, Eomma mengandung. Lagi. Itu berita besar bagi keluarga Wibowo, yang awalnya dengan terpaksa percaya dan menerima bahwa eomma tidak akan bisa memiliki anak lagi. Mujizat itu nyata, bukan? 

Gadis kecil itu adalah pelangi dan berkat tak terbantahkan. Dia adalah keutuhan yang menjalar hidup. Keluarga itu memang masih kaku, masih berisikan tradisi-tradisi yang tak boleh dilanggar, masih bernada kikuk dalam interaksinya, tapi gadis itu menguntainya pelan-pelan. Dia akan merengek tak mau makan jika semua anggota keluarga di rumah tidak duduk dan makan bersama. Dia hanya mau dimandikan oleh appa dengan eomma harus berdiri di sampingnya. Dia tahu ketika appa berangkat kerja dan tidak absen meminta ciuman. Dia menangis kencang, jika sudah lewat dari jam 8 malam dan appa, eomma, dan oppa-nya belum memberinya kecupan selamat tidur. Dari semua hal cerdas yang kebetulan dilakukan anak gadis ini, keluarga itu belajar mengatur dan memberi waktu untuk satu sama lain.

"Clarissa, Carlos, eomma dan appa berangkat." Sapaan goodbye sementara itu didengungkan tiap kali mereka mau meninggalkan rumah. 

"Clarissa, oppa ke sekolah ya." Lalu si gadis akan berlari kecil, masuk ke pelukan kakak tersayangnya, dan hari itu akan berlalu bahagia dengan kecup kecil yang mendarat di dahi untuk mengawal hari. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
IN BETWEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang