Kalau sakit, belajar bilang sakit.
Nyembunyiin rasa sakit cuma bikin lukanya jadi busuk.
Kalau kamu sakit tapi nyari obat tanpa bilang sakitnya seperti apa,
gimana mau diobati.
Kalau sakit nggak dihadapi,
lama sembuhnya, atau malah nggak sembuh sama sekali.
***
Joshua's POV
"Woey, bangun-bangun." Aku mengguncang badan Rain, berusaha membangunkannya.
"Ahhhh,, Joshua. Kampret lo, gue masih pengen tidur." Dia berteriak kesal.
"Bangun dulu, woey. Cepetan buka mata. Rain. WOEY!!!!" Aku meneriakan kata terakhir itu langsung ke telinganya.
"Joshuaaaaaa kepala sapi, yang paling demen ngigo suaranya mirip sapi, lo gituin gue sekali lagi, gue tendang lo jauh-jauh." Setelah menghempaskan kata-kata frustasinya, dia kembali menjatuhkan diri di tempat tidur, menarik selimutnya dan menutupi seluruh wajahnya.
Aku tahu satu hal paling ampuh yang bisa membangunkan Rain, dan bisa berhasil bikin dia melek 100%. Aku mengambil kemoceng bulu sulak yang paling tidak dia sukai, tapi sudah ku bawa jauh-jauh dari Jakarta untuk jaga-jaga jangan sampai ada kejadian seperti sekarang. Kemoceng itu pelan-pelan ku masukan lewat sedikit celah yang terbuka di belakang kepalanya, sampai akhirnya, yuppp, mencapai lehernya.
Spontan Rain bangun dan menyerukan berbagai sumpah serampah dari 20 jenis bahasa yang dia pelajari khusus hanya kata-kata kotornya saja.
"Joshua, brengsek, gue bunuh lo!" Dia mengambil sendalnya dan melemparku kuat dengan gerakan serampangan, akibat masih sempoyongan.
"Rain, Rain, Rain lihat aku. Sorry banget, aku tahu kamu super duper benci dengan kemoceng, tapi kalau nggak terpaksa, aku nggak akan kaya gitu."
"It'd better be good, you bastard!"
"Pertama, lihat bajuku. Udah pas belom?"
"WHAT???? Aaaahh,, gue emosi ni sumpah gue sangat emosi."
"Lihat dulu ceng, bajuku udah serasi belom sama celananya?"
"Stop panggil gue kaya gitu. Lo tau gue gak suka."
"Sampai kamu berhenti manggil aku, sapi. Ah sudahlah, lihat ini, aku udah nanya dua kali, kampret. Udah pas belom."
"KAGAK! Jelek persis kaya sapi. Kepala lo persis kaya sapi."
"Oh berarti udah bagus. Nah kedua, aku membutuhkan ingatan fotografismu yang sangat canggih itu, Rain. Demi hidup dan mati saudaramu ini."
"Ah brengsek, apaan lagi sih."
"Duduk dulu ya duduk dulu. Tenang. Ntar aku traktir kamu free time sebanyak mungkin biar bisa habisin waktu sama Erfam seharian full tanpa gangguan dari aku."
"Apaan sih kampret banget lo."
"Ah udah nggak usa belaga bego gitu. Anyway, kamu masih ingat nggak pintu kamar rahasia itu? Masih ingat bentuknya, kira-kira itu jenis pintu yang bisa dibuka dari dalam nggak ya?"
"Maksud lo?"
"Pintu itu. Kita kn ngelewatin tiga pintu. Dari antara tiga pintu itu, pintu yang paling luar, nah itu bisa nggak dibuka dari dalam?"
"Aku sempat sentuh bagian dalam pintu terluar, dan memang itu nggak bisa dibuka dari dalam. Doorlocknya nggak ada."
"Kesimpulannya, pintu itu hanya bisa dibuka dari luar kan ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
IN BETWEEN
General FictionSebuah "in between" menempatkan seseorang di antara dua kondisi yang ekstrem. Kisah "in between" pun bisa berbeda versinya; ada yang bisa saja terhimpit pada rasa bahagia yang teramat kuat, pada kesedihan yang mencekam, atau ada pada kegelisahan ya...