Pernah mencoba menghitung kecepatan yang diperlukan oleh seseorang untuk yakin dengan cinta? Seperti mengetahui dulu berapa jarak tempuhnya dan waktu tempuhnya. Jika waktu tempuhnya 8 minggu yang sama dengan 4.838.400 detik (terhitung dari saat aku melihatnya pertama kali sampai dengan saat ini), dan jarak tempuhnya dilihat dari jarak penerbangan Seoul - Jakarta yang mencakup 4.990 km maka kecepatan untuk yakin dengan cinta antara yang jatuh cinta dan yang membuatku jatuh cinta hanyalah 1,032 km/jam. Seandainya, cinta bisa dengan semudah itu terkalkulasikan dengan rumus Fisika atau Matematika, maka hanya butuh kalkultor untuk memastikan jawabannya. Sayang, perasaan tidak punya formulanya.
Joshua's POV
"Aku perlu nomor hp-nya Clarissa!"
Pagi itu aku berjalan lurus menuju gedung Sastra Inggris dan mendapati Erfam tengah duduk sendirian di student hall. Karena aku yakin banget Clarissa nggak ngampus hari ini, tuntut menuntut nomor kontak pun dimulai.
"Kamu minta itu ke orang yang salah, Joshua."
"Lah, kamu teman baiknya. Pastinya aku minta nomornya ke kamu dong."
"Bukannya kamu sudah cukup dekat dengan Clarissa untuk minta nomornya langsung. Kenapa harus lewat aku?"
"Ah, panjang ceritanya. Cepetan, aku perlu hubungi dia sekarang."
"Tentu saja aku nggak akan kasi."
"Wuah kamu sama keras kepalanya kaya Clarissa."
"Aku bisa lebih parah." Dan dia kembali berkutat dengan laptop dan bukunya.
Melihat pertahanan fisiknya yang sudah beralih fokus ke laptop di depannya, dengan cepat aku mengambil handphone dari atas meja Erfam, menarik telunjuknya, dan menekankannya ke layar untuk membuka kunci ponsel. Aku melakukannya secepat kilat, mengetik nama Clarissa, dan memotret nomor yang tertulis di layar itu menggunakan hpku. Bahkan sebelum dia bergerak memberi lebih banyak protes yang belum sempat dijejelinya ke mukaku, aku sudah meletakkan handphone itu kembali ke meja dan berlalu pergi.
Tidak butuh waktu lama untuk menghubungi nomor Clarissa karna dalam 3 kali dering, dia mengangkat telponnya.
"Hallo?" Suara itu. Suara lembut khas Clarissa, dan hanya milik Clarissa.
"Hai... ingat suaraku?"
Lalu, tidak ada sahutan apapun. Hanya sedikit desahan napasnya yang terdengar.
Dalam hitungan ketiga, dia merespon balik.
"Darimana kamu tahu nomorku?" Suaranya terdengar lebih ketus tapi masih lembut.
"Aku curi dari Erfam. Sorry about that. Kamu dimana? Aku udah selesai kelas ni. Aku samperin ya. Boleh ketemu nggak?"
Diam lagi, kali ini hanya satu setengah detik.
"Nggak. Aku lagi sibuk."
Dan panggilan terputus. Begitu ku coba telpon lagi, hp-nya sudah dinonaktifkan.
Jika aku mundur hanya karena sekali putus sambungan telpon, itu bukan Joshua Hammal namanya. Aku memang tidak suka ditolak, tapi bukan berarti menyerah ketika dibegitukan.
Setelah mendengar "secara tidak sengaja" semua tentang Clarissa tadi malam, aku tidak bisa tidur sama sekali. Pernah kan kalian merasa benak kalian dipenuhi hanya untuk satu rupa saja? Saat tidur mau bolak balik ke arah manapun juga cuma dia yang kalian pikirkan. Begitulah Clarissa memberondongi semua ruang pikirku, bahkan sampai sekarang.
Ketika sampai di rumahnya, aku mendapati Carlos tengah berdiri di teras rumah, seakan tahu aku akan datang. Aku berjalan tegap menghampirinya. Dia tidak menyambutku atau apapun. Alih-alih berjalan ke arahku, dia berbalik mendekati kursi dan mengambil posisi tenang disitu, lalu mulai menghabisiku dengan tatapannya. Aku merasa kakaknya Clarissa ini bisa menang kompetisi tatap menatap. Caranya melihatku cukup membuatku bergidik.
KAMU SEDANG MEMBACA
IN BETWEEN
General FictionSebuah "in between" menempatkan seseorang di antara dua kondisi yang ekstrem. Kisah "in between" pun bisa berbeda versinya; ada yang bisa saja terhimpit pada rasa bahagia yang teramat kuat, pada kesedihan yang mencekam, atau ada pada kegelisahan ya...