Dalam English Grammar Tenses ada yang namanya Present Perfect Tense, untuk mengekspresikan sebuah kejadian di waktu lampau yang berefek sampai dengan waktu sekarang. "I have met him", sebuah contoh kalimat dengan struktur Present Perfect yang menyatakan bahwa aku telah bertemu dengan pria itu pada suatu saat di waktu yang telah lalu dan sampai sekarang aku masih mengalami efek dari pertemuan itu. Semuanya terjadi tanpa perencanaan; menyerang tanpa peringatan.
---------
"Joshuaaaaaaaaaaaaaa...."
Seluruh kelas langsung geger mendengar teriakan super kencang itu. Bukan, teriakan itu bukan berasal dari dalam kelasku. Suara itu datangnya dari hallway samping kelas. Entah kehebohan macam apa yang tengah terjadi disana.
"Joshuaaaaaaaaaaaa Joshuaaaa sayanggg ...."
Dan semakin banyak teriakan Joshua lainnya. Lalu berbondong-bondong orang berdatangan dan berkerumun persis di depan kelasku. Sungguh mengganggu.
Aku biasanya tidak perduli dengan hal-hal semacam ini, tapi suara teriakan ini benar-benar mengalihkan konsentrasiku. Dan lebih anehnya lagi dosenku terlihat baik-baik saja, seakan kehebohan itu sesuatu yang sangat lumrah terjadi.
"Ada apa sih sebenarnya?" tanyaku pada sahabatku, Erfam.
"You don't know Joshua?"
"Apakah aku harus tahu sesuatu tentang dia?"
"You seriously don't know anything about that guy?"
"YOU answered me. Bukan nanya balik, dodol." sanggahku, jengkel.
"Aku juga tidak tahu siapa itu Joshua."
"Oh my... Just shut up."
Dosenku benar-benar menghentikan kuliahnya sesaat, sesaat saja selama kerumunan itu ada di luar. Beliau bahkan tidak keluar dan mencari tahu apa yang terjadi, atau bahkan tidak beranjak sama sekali menegur mereka. Aneh. Beliau mulai melanjutkan lagi pemaparannya begitu kerumunan itu meninggalkan hallway depan. Aneh.
Hari ini hari pertama kuliah. Hari pertamaku juga berkuliah di Indonesia, tepatnya di Jakarta. Kabur dari rumah, bermain petak umpet bareng pengawal keluargaku yang ngotot mencari aku kesana kemari, mencari tempat tinggal strategis (yang tidak mudah ditemukan), memulai kuliah di tempat baru, wuah, bukanlah hal yang mudah. University of Philanthropy, atau sebut saja UniPhil bukanlah pilihan utamaku, tapi karena kakak laki-lakiku yang super keren bersikeras aku harus kuliah disini (atau dia akan langsung ke Jakarta dan menjemputku pulang), maka aku iyakan sajalah keinginannya. Toh dia sudah berjanji untuk tutup mulut dan tidak akan memberitahukan keberadaanku ke papa mama.
"Ke perpus langsung yuk, fam", ajakku ke Erfam setelah kelas.
"Mampus deh. Baru juga kelar kelasnya, Sa, udah mau tongkrongin buku lagi?"
Yes, Erfama Larasita, dipanggil Erfam. Persahabatan kami bisa terbilang baru jika yang dipertimbangkan adalah unsur kedekatannya, karena pada awalnya kami hanya sebatas saling mengenal. Dia sebenarnya adalah teman masa kecilku, dan aku baru saling berkabar lagi dengannya sejak memutuskan untuk melanjutkan studi di Jakarta (dibaca: kabur ke Jakarta untuk studi). Kebetulan, dia masuk ke jurusan yang sama denganku, Sastra Inggris.
"Aku lapar, Sa. Kita ke kantin aja yuk."
"Kamu aja deh kalau gitu yang ke kantin. Aku bawa bekal sih. Kantin pasti tempat yang ribut banget. Aku gak suka dengerin ocehan orang-orang saat sedang makan."
"Ya udah, aku ke kantin dulu terus aku nyusul kamu ke perpus ya. Kelas kita yang berikutnya jam 14.00. Jangan ketiduran di perpus loh."
Aku segera berlalu darinya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Sembari berjalan menuju perpustakaan, aku menemukan semakin banyak orang berkerumun di depan perpustakaan yang kini tengah dihadang oleh security.
KAMU SEDANG MEMBACA
IN BETWEEN
Genel KurguSebuah "in between" menempatkan seseorang di antara dua kondisi yang ekstrem. Kisah "in between" pun bisa berbeda versinya; ada yang bisa saja terhimpit pada rasa bahagia yang teramat kuat, pada kesedihan yang mencekam, atau ada pada kegelisahan ya...