Clarissa's POV
Aku berlari dengan cepat menyusuri lorong gelap itu, bersyukur dalam hati karena sampai sejauh ini tidak ada orang memergokiku. Bukan hal yang susah menyusuri jalan ini, karena aku tahu semua sudut-sudutnya.
Dengan tergesa-gesa aku membuka pintu kamar kak Calvin dan mendapati appa sudah berdiri persis di depan pintu dengan gaya khasnya; tangannya dilipat ke belakang, dan matanya memandangku tajam. Dia berdiri disitu tanpa ekspresi, sehingga tidak bisa ku baca dengan jelas apakah saat ini dia sedang marah, jengkel atau apapun.
Aku berdiri mematung. Menunggu. Appa masih pada posisinya, tanpa sepatah kata, hanya memandangku tajam langsung ke mataku.
Awalnya aku menunduk, tapi semakin lama appa tidak bereaksi, aku memberanikan diri memandangnya balik. Intens. Aku belum pernah menatap appa dengan tatapan tajam yang sama dengan yang diberikannya padaku.
"Masuk ke kamarmu, dan kita siap pergi. Kamu sudah terlalu lama menghabiskan waktu di luar."
Appa menyebut setiap katanya dengan pelafalan yang sangat jelas dan penekanan pada tempatnya. Dia marah. Aku bisa tahu itu dari sorot matanya ketika berkata-kata barusan. Itu ekspresi marah yang begitu ditahan-tahan. Yang jadi pertanyaanku begitu dia berlalu, apa yang membuatnya marah? Marah karena kepergianku memicu wartawan yang berbondong-bondong datang, atau marah karena aku yang pergi tanpa pamit?
Walaupun disambut dengan amarah yang tertahan itu, aku tidak menyesali sedikitpun keputusanku untuk menemui Joshua hari ini. Aku membentuk senyum kecil ketika ingatan yang masih begitu hangat itu kembali menyergap otakku. What a day! Bahkan kecemasan akan berhadapan dengan hal yang paling ku benci malam ini tidak mengganggu kenangan manis yang bertengger indah di sel-sel memoriku.
Begitu membuka kamar, satu lagi orang sudah menunggu di sana. Eomma. Dia tengah menata baju dan sepatu yang harus ku pakai malam ini.
Eomma tidak tersenyum, tidak juga melihatku saat masuk, seakan tahu kalau memang aku lah yang masuk ke kamar di saat itu.
"Eomma..." panggilku, agar dia menoleh.
"Eomma sudah siapkan pakaianmu. Kita akan berangkat satu jam lagi."
Lalu begitu saja. Eomma melakukan hal yang sama seperti yang appa lakukan tadi. Menahan amarah, dan berlalu begitu saja.
Aku berdiri mematung untuk kesekian kalinya.
Lagi-lagi perlakuan yang sama. Tidak ada yang berani marah padaku. Aku tidak selemah itu untuk terus diperlakukan seperti orang sakit-sakitan yang bisa saja mati jika dimarahi.
Pandanganku beralih ke dress cheongsam pink yang tergelatak indah di atas tempat tidurku; menungguku datang dan mengenakannya. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya berat, membayangkan satu lagi malam panjang yang akan ku lewati.
Pintu terketuk pelan, dan kak Calvin muncul di baliknya.
"Clariss..." sapanya dengan senyum tampan yang ku rindukan.
Aku belum melihatnya lagi sejak tiba di korea hampir sebulan silam. Kak Calvin terlihat lebih kurus. Rambutnya juga tergerai lebih gondrong, mungkin sengaja dibiarkannya begitu.
Dia meraih dan memelukku pelan.
"Maafkan oppa karena nggak bisa jagain kamu."
"I miss you, oppa."
"Kamu siap kan buat malam ini? Oppa akan selalu ada di samping kamu."
"Pasti wartawannya akan lebih heboh kan ya. Pasti lebih menggila dari tahun kemarin."
KAMU SEDANG MEMBACA
IN BETWEEN
General FictionSebuah "in between" menempatkan seseorang di antara dua kondisi yang ekstrem. Kisah "in between" pun bisa berbeda versinya; ada yang bisa saja terhimpit pada rasa bahagia yang teramat kuat, pada kesedihan yang mencekam, atau ada pada kegelisahan ya...