Joshua's POV
3 minggu terakhir adalah penyiksaan terberat dalam hidup; bukan karena terapinya yang super membosankan padahal aku sangat baik-baik saja, tapi melewati hari tanpa suara Clarissa. Satu bulan penuh bersama Clarissa mungkin terlihat biasa saja bagi orang lain, tapi tidak buatku, dan yang ku harapkan tidak juga buatnya, tapi sayangnya mungkin hanya aku seorang yang merasa seperti itu. Atau, itu mungkin hanya takutku saja.
Satu bulan bersama Clarissa itu adalah luapan kebahagiaan yang sempat dirampas jauh dariku sejak kematian papa 6 tahun lalu. Semuanya berubah total memang sejak papa pergi. Rumah terlihat seperti rumah, tapi tidak lagi rumah. Mama jadi lebih banyak pergi. Dan aku merangkul sepi yang tidak pernah kuakui; lebih tepatnya aku hanya ingin orang melihatku baik-baik saja.
Clarissa membuatku mengenal diriku sendiri. Dia membuatku merasa "It's okay to be not okay. Menyembunyikannya tidak menyembuhkan lukamu." Dia selalu tahu saat aku tidak baik-baik saja. Saat mama mengingkari janjinya lagi, Clarissa akan memasakanku makanan rumah. Saat aku tahu ada yang ingin ku curahkan tapi tidak bisa dan tidak tahu caranya, saking sesaknya karena menahan bicara, Clarissa akan "memaksaku" menonton salah satu episode drama korea kesukaannya, yang ada saja sangkut pautnya dengan yang kurasakan saat itu. Entah darimana dia tahu. Dan aku bisa menangis diam-diam di balik bantal sofanya. Lalu, tangannya akan pelan-pelan memelintir rambutku, atau mengelus-ngelus bahuku, pertanda menenangkan.
Kami saling menyembuhkan dengan cara yang hanya kami ketahui; dan dalam tahapan yang tidak terlihat kentara oleh orang lain. Kami berbagi momen-momen pribadi yang lebih dari sekadar ciuman-ciuman manis di bibirnya yang mungil ketika kami tengah sendiri. Kami saling berbagi kelemahan, dan bersama belajar menerimanya.
Clarissa means so much more to me than just a girlfriend. Dia menjadikanku berani menyanggupi kesempatan yang tidak pernah berani untuk ku lakukan. Si tukang pencari masalah yang tidak kapok babak belur itu menemukan muse-nya, seseorang yang membawa ritme warna-warni pada hidupnya yang abu-abu.
Bayangan untuk bertemu Clarissa lagi membuatku terbilang "terlampau tekun" melewati tembok-tembok putih super membosankan, dan perawat-perawat cerewet yang ingin tahu banyak hal tentangku. Aku benar-benar sudah tidak sabar untuk bertemu Clarissa, atau lebih tepatnya, menemukannya kembali.
"Kak James, ini sudah jam berapa kok belum siap juga?" seruku keluar dari kamar sambil membawa koper yang sudah siap, dan masih terpaku melihat kak James dan Rain masih juga bermain catur.
"Kampret banget emang ni anak. Pesawat kita tu ntar malam jam 9, sapi. Ini masih jam 1 siang. Lo ngigo?" Si Rain yang mengambil alih menjawab.
"Ha? Jam 1 siang? Astaga langitnya mendung apa ya, aku pikir udah sore. Aku pikir tadi aku tidurnya udah cukup lama."
"Lihat jam, Josh. Lihat jam. Ada jam tangan tu, dilihat," respon kak James sambil menahan tawa dan menggeleng-gelengkan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
IN BETWEEN
General FictionSebuah "in between" menempatkan seseorang di antara dua kondisi yang ekstrem. Kisah "in between" pun bisa berbeda versinya; ada yang bisa saja terhimpit pada rasa bahagia yang teramat kuat, pada kesedihan yang mencekam, atau ada pada kegelisahan ya...