Hari pertama kuliah setelah seminggu cuti tidak lebih baik dari yang diharapkan. Lahirlah artis baru hasil histeris dan pingsan di depan cowok paling populer di kampus. Entah label apa yang sudah mereka berikan padaku. Gadis aneh? Cewek freak? Cewek gila? Ya, ada orang aneh di kampus. Mata-mata yang sempat mengenal melihatku lekat. Aku menundukkan kepalaku dalam-dalam berjalan cepat-cepat menuju jalan pintas di taman belakang. Jalanan yang sama yang ku lalui waktu itu.
Dan dia ada di situ. Untuk menghindari bencana yang lebih besar aku memutuskan berlari menjauh, mencari jalan pintas lain yang bisa membawaku kelas tanpa harus melewatinya. Aku mendengarnya memanggil namaku beberapa kali. Jangan menoleh. Jalan terus. Sekali matamu bertemu dengannya lagi, maka selamat tinggal rasa normal, Clarissa. Jalan terus.
"Woet. Clarissa. Tungguin aku."
Aku berjalan setengah berlari menuju kelasku dan segera duduk di bangkuku. Tapi bukannya berhenti di depan pintu kelas dia mengikuti terus masuk ke dalam kelas. Ah terus ngapain aku harus lari tadi kalau ujung-ujungnya dia toh tetap nyamperin aku ke sini juga. Sekarang bertambah lagi pandangan orang-orang di kelas yang memelototiku tidak senang, plus bejibun cewek-cewek yang sudah berbaris tidak rapi di depan kelasku berusaha mencari tahu apa gerangan yang membuat seorang Joshua masuk ke kelas anak sastra Inggris.
Aku mengatur napas, mengepalkan tanganku kuat-kuat, dan menatapnya marah.
"Joshua, please banget. Jangan kaya gini." Aku menahan napasku dan berusaha menekankan satu-satu kata yang ku keluarkan. "Aku nggak bisa kaya gini, Joshua."
"Nggak bisa kaya gini gimana, Clarissa? Kan aku udah bilang ke kamu langsung malam itu. Aku..."
Aku mengangkat tanganku memotongnya sebelum dia bicara lebih lanjut.
"Joshua, cukup. Kamu boleh keluar sekarang? Sebentar lagi dosenku udah masuk."
Dia tampaknya tidak benar-benar mengerti perkataanku.
"Aku cuma mau lihat kamu aja sebelum aku berangkat buat kompetisi. Wish me luck ya. Jangan cemberut gitu dong."
Aku sedikit (sedikit saja) tersenyum balik padanya. Tapi percayalah dalam hati aku terlalu luluh untuk berusaha tidak tersenyum. "Good luck," sahutku pelan.
"Take care, Clarissa." Sebelum berlalu menjauh, dia mengacak rambutku, memberikan senyumnya yang paling manis, lalu berjalan meninggalkan kelas.
Menurut cerita, cewek paling nggak suka ketika ada cowok yang berantakin rambutnya. Tapi yang barusan tadi, kenapa begitu manis. Bahkan rasa kesalku tidak sebanding dengan perasaan berbunga-bunga ini. Belum lama aku diberi waktu untuk merasa senang sedikit saja, 4 - 5 orang cewek, entah siapa, mendekatiku.
"Kamu kenal sama Joshua? Kamu MaBa kan?" Satu cewek membuka alur konfrontasi.
"Iya, kenal darimana." Satunya lagi menambahkan.
"Kamu bukannya cewek aneh yang teriak-teriak depan Joshua waktu itu kan?" Cewek yang lain semakin menyulut api.
"Iya aneh. Tau diri dikit napa. Cewek freak macam kok berani-beraninya dekat sama Joshua." Satu lagi tidak mau kalah.
Ini adalah satu dari sekian banyak momen yang membuatku begitu membenci diriku sendiri. Betapa gregetnya aku ingin membalas mereka. Semua teriakan itu sudah terngiang-ngiang lewat mataku, tapi aku keburu terbunuh duluan karena kelainan super aneh ini. 5 cewek tinggi berdiri mengelilingiku sudah terlalu cukup untuk memperburuk phobia sialan ini. Ini bukan cerita tentang cewek miskin ditindas karena dianggap ngedeketin cowok kaya, tapi cewek abnormal dikonfrontasi karena dianggap ngedeketin cowok normal. Apa-apaan coba.
KAMU SEDANG MEMBACA
IN BETWEEN
General FictionSebuah "in between" menempatkan seseorang di antara dua kondisi yang ekstrem. Kisah "in between" pun bisa berbeda versinya; ada yang bisa saja terhimpit pada rasa bahagia yang teramat kuat, pada kesedihan yang mencekam, atau ada pada kegelisahan ya...