Persimpangan

124 14 3
                                    

Clarissa's POV

Semua perjalanan nggak ada yang serba lurus. Kata orang, terlalu lurus pasti bikin ngantuk. Semua jalanan pasti ada persimpangannya. Kata orang, banyak persimpangan itu menegangkan; ada saja petunjuk teknisnya apalagi ketika berkendara. Jadi, tiap kali mencapai persimpangan kita perlu mengurangi kecepatan. Kata orang lagi, persimpangan itu salah satu tanda bahaya dalam perjalanan. 

Secara teori, perkataan orang-orang itu benar. 

Tapi tidak ketika dibawa ke alam nyatanya. Bahkan ketika melalui persimpangan saja, masih tetap ada yang ngebut, tanpa sadar kalau tindakan itu bisa memberi celaka ke dirinya sendiri dan ke orang lain.

Selama ini aku tidak memperhatikan dan mempelajari ilmu persimpangan, tapi kalau dipikir-pikir, kita sendiri sebenarnya hidup di sudut-sudut persimpangan.  

Kita tidak pernah tahu apa yang akan kita jumpai di balik persimpangan itu. Jalan yang aman kah? Ada bahaya kah? 

Kak Carlos bertemu dengan akhir hidupnya di sebuah sudut persimpangannya. 

kak Calvin berbelok di persimpangan yang membawanya ke hidup orang lain, walaupun itu kembarannya sendiri. 

Aku bertemu dengan ochlophobia yang sampai saat ini masih selalu duduk bersama di sudut persimpanganku. 

Joshua bertemu dengan hari kelamnya, sebagai seorang anak. 

Tapi kami semua, kecuali kak Carlos masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan persimpangan lainnya. 

Kali ini, Joshua tengah siap berbelok di persimpangannya yang lain, akankah dia baik-baik saja? 

 ***

"Oppa sudah mengetahui semuanya sejak awal, kan?" tanyaku dengan suara datar memecah keheningan di antara kami. Kak Calvin mengantarku ke tempat Joshua sesuai permintaanku. 

"Maafkan Oppa.

"Itu bukan jawaban." 

Hening. Lagi. Kak Calvin seakan tengah mencari kata yang tepat untuk diutarakannya di wajahku. 

"Oppa, aku lelah dengan semua hal yang terlalu banyak ditutup-tutupi. Please banget, kali ini, jangan bilang itu untuk kebaikanku lagi. Itu membebankan tau nggak?" 

Suara frustasiku terlontar keluar dengan jelas. 

"Maafkan Oppa. Dari awal, aku emang sudah tahu siapa Joshua." 

"Dari awal? Sejak Oppa bertemu dengannya karna Flora?" 

"Lebih awal lagi. Aku selalu tahu tentang siapa itu Joshua. Bahkan ketika Flora baru menyebutkan namanya, aku tahu. Dia adalah si Joshua itu." 

"Ketika oppa melarangku bersama Joshua, apa alasan sebenarnya? Karena Flora kah? Karena sifat Joshua kah? Atau karena masa lalunya?"

"Maafkan Oppa, Clariss." 

"Lagi-lagi oppa meminta maaf." 

"Lucu nggak sih Oppa," lanjutku, "Oppa melarangku supaya nggak boleh dekat-dekat sama Joshua karena masa lalunya, dan di satu sisi bisa aja ada anak orang lain yang dilarang sama orang terdekat mereka buat ngedeketin aku karena aku ada kelainan. Kalau dipikir-pikir, mungkin karena ini, makanya aku sama Joshua bisa sampai bertemu." 

"Kamu tidak boleh bilang tentang dirimu seperti itu, Clariss." 

"Oppa juga nggak punya hak untuk judging Joshua." 

Hening. Lagi. 

"Dari awal, aku tahu Joshua adalah anak sahabat appa. Saat aku masih di Indonesia, aku sering menghabiskan waktu bersama Om Richard. Beliau sering ke rumah kita yang di Bogor. Om Richard seperti memberi keberadaan bagi sosok appa.  Aku bahkan ada saat Joshua lahir. Dia tumbuh jadi anak yang terlalu serius belajar, seperti anak yang emang udah terlahir jenius. Aku sangat dekat dengan Om Richard, tapi hanya mengenal Joshua dari jauh. Joshua seperti anak yang tidak tersentuh, terlalu jauh untuk diraih. Dia terlalu suka menutup diri dari duniar luar. Dia persis seperti mama-nya. Tante Felice juga sangat cuek, begitu bertolak belakang dengan Om Richard. Kesukaan Joshua hanya rumus matematika, catur, dan bermain puzzle. Dia tidak punya teman dan terlalu tidak peduli dengan orang lain. Pantas saja dia tidak mengenalku dan bahkan tidak tahu tentang appa. Tapi dia terlalu memuja orangtuanya. Mereka sangat dekat."

IN BETWEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang