19. A Room

5.3K 726 159
                                    

Kacamata hitamnya dilepas, begitu juga topi dan mantelnya.

“Terima kasih.”

Renji datang ke rumah Rei bersama dengan ayahnya. Tuan rumah mempersilakan mereka untuk duduk, menghidangkan minuman serta camilan.

Dari balik dinding yang memisahkan ruang tengah dan ruang tamu, Hiromi mengintip. Mencuri pandang pada pria yang sudah lama sekali tidak ia temui. Terakhir kali bertemu, rambut Renji masih sebatas bahu, tapi kini lebih pendek. Pun, tato yang Renji miliki masih selalu bisa menarik perhatian Hiromi.

“Hiromi, ayo bantu Mama.”

“Baik.”

Renji menoleh, tidak menyadari kalau gadis yang kini sudah jadi siswi SD itu memperhatikannya. Pandangannya ia alihkan lagi pada jam tangan, jelas ia sudah membuat janji setelah ini. Ia semakin tidak sabar.

“Rei-chan?”

Lamunannya terpecah, mendengar ayahnya bersuara. Renji segera menoleh, menemukan Rei menggendong bayi. Renji beranjak. Sedikit mengembangkan senyumnya. Ia melihat mata Rei yang tidak seperti biasanya, tidak ada kantung mata menghitam di bawah matanya. Kacamata berbingkai masih bertengger disana. Rambut Rei kini agak lebih gondrong, berbeda dengan Rei saat terakhir kali ia melihatnya. Tapi Renji datang bukan untuk mengamati Rei. Untuk hal yang lain.

“Aku sudah menandatanganinya.” Rei menarik senyumnya. “Maaf jadi selama ini.”

“Hm. Maaf juga tidak datang saat persalinanmu.” Renji mendapat seyuman hangat seraya menerima amplop coklat dari Rei. Padangannya terhenti pada amplop di tangannya. Begitu ia selesai mengurus surat-surat perceraiannya, ia resmi bercerai dengan Rei.

Renji datang ke rumah Rei bukan untuk menjenguk anaknya, atau meminta hak asuh atas anaknya. Renji datang untuk bertemu terakhir kali dengan Rei, sebagai status suami istri. Karena setelah ini mereka bukan siapa-siapa lagi.

Keduanya setuju kalau bayi mereka akan diasuh oleh Rei. Renji berjanji akan membiayai semua keperluannya sebagai kewajiban Renji, namun Rei menolak. Ia ingin di antara keduanya sudah benar-benar berakhir, dan ia tidak ingin merepotkan dan memberatkan Renji dengan hal-hal seperti itu. Renji masih bisa menemui putrinya, tentu saja, tapi dengan izin Rei.

“Namanya?”

Rei semakin mengembangkan senyumnya, lalu pandangannya ia alihkan pada bayi dalam gendongnya. “Hana.” Dan senyumannya semakin mengembang. “Ia akan memakai nama keluargaku. Tidak apa kan?”

“Hm.” Lagi-lagi Renji hanya menyahut. “Lebih baik seperti itu.” Lanjutnya.

Kedua mata Renji masih tidak dialihkan dari bayinya. Putri pertamanya. Anak yang dulu selalu ia minta pada Rei. Darah dagingnya yang diberi nama Hana. Renji tidak benar-benar mengingat obrolan tidak jelas dengan Rei di mobil beberapa bulan lalu. Nama Hana terpilih untuk nama bayi mereka.

Obrolan seputar Hana berlangsung terus menerus, Renji memilih ke beranda depan rumah selagi ayahnya masih asik berbincang dengan keluarga besan.

Renji membuka sekaleng soda, lalu meneguknya dengan cepat. Membasahi kerongkongan yang dirasa begitu kering. Kini matanya hanya terpaku pada kaleng soda di pangkuan, ia genggam erat-erat dengan jemari panjangnya.

“Kau disini?”

Kepalanya menoleh, menemukan Rei berdiri di ambang pintu. Matanya mengikuti kemana Rei melangkah. Tidak pada kursi di sampingnya. Hanya berdiri. Membuat Renji turut beranjak.

“Ayahmu masih senang menggendong Hana.”

“Hm. Cucu pertamanya.”

“Yaa.” Rei menarik senyum.

Contradiction (Omegaverse) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang