34. Morning Light

4.7K 636 96
                                    

Pagi menjemput. Matahari bersinar terang. Cahayanya tidak perlu diam-diam masuk dari celah jendela, mereka bisa masuk sesukanya karena gorden sama sekali tidak menghalangi. Hal itu jelas membuat Renji yang terbiasa bangun siang terpaksa harus bangun saat itu juga. Seseorang sudah melakukan kejahatan padanya. Sinar terang itu membuat ia harus mengerjapkan matanya berkali-kali. Sampai ia menemukan boneka bayi berbaring di sampingnya.

“Hm..” Renji semakin kebingungan. “Ah!” begitu ingat, ia lekas melompat dari kasur dan berlari keluar kamar, menuruni anak tangga secepat yang ia bisa. “Hana?!”

“Ren-chan, selamat pagi!”

Jantungnya seperti terhenti, dan senyum Hana yang menyelamatkannya dari kematian.

“Aku buat nasi kepal. Lihat! Aku buat panda.”

“Kenapa tidak membangunkanku?”

“Aku ingin buat sarapan untuk Ren-chan.”

“Aku panik tau...”

“Hehehe, maaf.” Hana terkekeh, menunjukan gigi-giginya. Matanya yang sembab bekas semalam menyipit saat tersenyum. “Sudah mirip panda?”

“Hm.” Renji lekat-lekat memperhatikan tangan kecil Hana menggulung gumpalan nasi yang dibentuk menjadi panda. “Kau mengguntingnya?” tunjuk Renji pada rumput laut kering yang dijadikan wajah panda. “Tanganmu luar biasa seperti ibumu ya.”

“Ibu bisa membuat kelinci. Tapi aku tidak bisa, membuat bentuk silang sulit sekali.”

“Bisa kau gunting memanjang kan? Potong jadi dua, sama panjang, lalu kau bentuk jadi silang. Untuk mulutnya kan?”

“Um. Iya juga ya? Harusnya aku lakukan seperti itu. Kalau begitu jadi lebih mudah.”

“Lakukan itu lain kali.”

“Um.” Hana mengangguk-angguk. “Aku akan cuci ini nanti, maaf jadi mengotori alat dapurmu. Aku janji akan merapihkannya kembali.”

“Santai saja.” Renji tersenyum, “Kau juga sudah bisa menggunakan pisau?”

Hana mengangguk, membuat Renji kebingungan. “Aku juga punya pisau sendiri. Tapi pisauku di rumah pisau khusus untuk anak-anak, ada gambar kelincinya loh. Warna merah muda. Padahal aku sudah janji tidak akan menggunakannya kalau tidak ada orang dewasa.”

“Lalu ini?” Renji kian menarik senyumya. “Hm?”

“Jangan katakan pada Ibu.. nanti aku dimarahi.”

“Kau ini.” Kepala Hana dielusnya dengan lembut. “Memang ibumu suka marah?”

“Tidak. Ibu tidak pernah marah. Tapi Ibu suka menghela napas. Seperti ini.” Hana memperagakan gaya Rei.

Renji terkekeh. “Ya ampun, benar-benar anaknya, mirip sekali.” kekehannya berubah jadi tawa.

“Begitu. Apalagi kalau aku ketahuan makan daun loquat. Pasti ibu melakukannya. Tarikan napasnya itu dalam sekali.”

“Daun? Kenapa makan daun? Kenapa tidak makan buahnya?”

“Pohon loquat ku belum berbuah. Masih enam tahun. Kata Ibu mungkin saat pohonku sudah sembilan atau sepuluh tahun, baru bisa berbuah. Karena aku tidak sabar ingin merasakan manisnya buah loquat, jadi aku makan daunnya. Tapi habis itu aku menyesal, rasa daunnya benar-benar buruk.”

“Ya tentu saja kan? Jangan memakan daunnya.”

“Habis aku ingin. Loquat kan manis.”

“Lain kali aku bisa mengajakmu ke rumahku. Bukan disini, di rumahku, rumah ayahku, di sana ada pohon loquat yang selalu berbuah. Pohon loquat tanda kelahiranku.”

Contradiction (Omegaverse) [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang