• Disclaimer •
Cerita ini murni imajinasi saya, apabila ada kesamaan judul, nama tokoh, dialog, ataupun adegan, ketahuilah bahwa itu sebuah ketidaksengajaan yang terjadi antara saya dengan yang bersangkutan. Bisa jadi juga, kita sehati.
•••••
Seorang anak laki-laki dengan setelan seragam putih biru lengkap dengan dasinya baru keluar dari pekarangan Sekolah Menengah Pertama Garuda Agraning. Sekolah ini cukup terkenal dengan fasilitas dan kejuaraan dalam berkompetisi terbaik di Jawa Timur.
Anak itu menoleh ke arah kanan dan arah kiri. Seperti tengah melihat kesepian jalanan yang kini akan ia seberangi. Sepi, ia langsung menyeberangi jalan yang membentang luas itu. Kini, dirinya sudah berada di seberang kiri jalanan sekolah, tengah menunggu angkutan umum untuk pulang. Hari ini, ayahnya absen menjemput.
Namanya Rana Asfar. Dia tampan. Anak kelas VII yang terkenal dengan diamnya. Karena diamnya, Rana dibully. Dicaci maki, hantaman hinaan dari temannya selalu menusuk ke dalam hati.
Semenjak Rana menaiki kelas tujuh, semua kehidupan luarnya mendadak berubah. Temannya sangat menyepelekan seorang Rana. Ia selalu dikucilkan. Rana tidak memiliki teman satu orang pun.
Hal itu terjadi karena dirinya tidak memiliki seorang ibu. Temannya cenderung untuk tidak bermain bersama Rana. Semua teman di kelasnya memiliki seorang ibu, tapi, tidak dengan Rana. Apa yang harus disepelekan sebenarnya?
Merasa laki-laki itu tidak memiliki ibu, semua temannya selalu berpikir buruk tentang Rana. Berpikir bahwa Rana, kurang didikan, dan kurang kasih sayang.
Namun, hal itu salah. Karena Rana mempunyai sosok ayah sekaligus ibu yang menjadi warna dalam hidupnya. Dia, Raffin Al-Imran, ayahnya.
“Heh Rana! Ngapain kamu di sini!? Kamu nggak punya ibu. Jauh-jauh dari sini.” Terlihat seorang anak laki-laki seusia Rana yang diketahui namanya adalah Husein tengah mengibas-ibaskan tangannya seolah berisyarat mengusir.
Rana memilih untuk menggeser tubuhnya. Menjauh dari wilayah mereka yang suka menghina dirinya.
“Stop!” seorang wanita kisaran 30 tahun memberhentikan langkah Rana. Lantas, ia pun berhenti, dan menatap wanita tersebut. Dia menatap Rana sinis. Rana menunduk, memilih untuk menatap aspal.
“Jangan terlalu geser ke sini!” imbuhnya. Rana hanya terdiam tidak menjawab. Harus geser ke mana lagi?
“Ya! Jangan geser lagi!” beda lagi asal suara itu, diketahui anak perempuan seusia Rana yang berkata. Namanya Tania.
Rana mendongakkan kepalanya. Kemudian menatap kedua sisinya. Kedua sisi ini tak mau menerima keberadaannya. Ia harus apa? Ini sakit sekali, Allah.
Pada akhirnya, Rana mematung. Akan tetapi, satu cibiran berhasil membuat pertahanannya runtuh.
“Anak nggak punya ibu kok belagu.” Sakit!
“Jangan dekati kami! Nanti kami bisa jadi seperti kamu. Pendiam, dan banyak cibiran dari orang sekitar. Kamu harus jauhi kami! Agar kami tidak bernasib sama seperti kamu!!” imbuh Adis.
Anak laki-laki itu terus menatap Rana dengan sinis. “Kamu itu pembawa petaka!”
“Ya setuju. Itu benar!” kata mereka semua serempak.
Ya Allah ....
Apa aku salah?
Apa aku salah jika aku telah kehilangan sebelah sayapku?
Kalau iya, letak salahnya di mana?
Ya Allah ....
Kenapa Engkau mengambil Bundaku secepat ini?
Kenapa Engkau tega, ya Allah?
Apa jika Bunda di sini, aku akan memiliki banyak teman?
•••••
To be continued.
Cerita sekuel pertama yang pingin saya kasih bumbu-bumbu kesedihan. Setiap menulis, saya selalu membayangkan apa yang ditulis.
Sudah siap dengan kelanjutannya?
All rights reserved. Tag me on instagram @syadrabakri if you want to share special part or everything about this stories?
Indonesia, 1 Juni 2020 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detikan Pelukan Mama [END]
Teen Fiction[Teenfiction - Sekuel Selembar Kisah] Laki-laki itu terjebak pada toxic relationship yang membuatnya harus kehilangan banyak hal; termasuk ibunya. Dunianya sudah berakhir. © stories 2020 by Syadira Hr. © cover 2021 by Pinterest. All rights reserved...