Aku ingin menjadi spidol dalam sebuah kertas putih. Di mana spidol itu akan menghiasi kertasnya dengan warna yang indah.
•••••
Di hari Minggu yang seharusnya libur ini, Rana, Ristha dan teman-temannya hendak hendak belajar kelompok. Niatnya, mereka semua akan memulai belajarnya pukul 8.00 WIB di rumah Diki.
Over all, Diki sebenarnya baik. Akan tetapi, keadaan membuat dirinya berubah 180°. Diki teman SD Rana dulu. Tentu ia kenal banyak dengan Diki meskipun baru di sekolah itu.
“Rana!!” panggilan seorang gadis yang tengah bersepeda menuju ke arahnya kini memusatkan perhatian semua orang.
“Ristha?”
“Hai Ran. Kita ‘kan sekelompok. Seharusnya berangkat bareng dong,” kata Ristha sembari mengkayu sepedanya untuk tetap mensejajarkan sepedanya dengan Rana.
“Aku gak tau rumah kamu.”
“Tapi aku tau rumah kamu.”
“Hem. Fokus depan aja. Nanti jatuh,” kata Rana yang menyadari pandangan Ristha ke arahnya.
“Sossiws deh. Kamu care juga ternyata.”
Rana bergeming. Sampai di rumah Diki, Rana dan Ristha langsung memakirkan sepedanya di tempat yang disediakan.
“Assalamualaikum.” Salam itu dijawab santai oleh sang pemilik rumah. Lantas menyuruh tamunya masuk dan menduduki di tempat yang sudah disediakan.
“Kita sekelompok sama siapa aja, Dik?” tanya Ristha.
“Aku, Niran, kamu, Rana, sama Asif.”
“Rana! Asif itu orangnya yang suka ngelawak di kelas itu, ‘kan?” Rana mengangguk.
Setelah menunggu beberapa menit. Akhirnya semua anggota kelompok sudah berkumpul.
“Hai Gais, Asep kembali.”
“Halo Asif.” Ristha memang gadis yang ramah, ia selalu berteman dengan siapa saja. Namun, hanya Rana yang menjadi sahabatnya.
“Eh, gadis geulis. Jangan panggil Asif dong, ganteng banget namanya. Panggil Asep aja udah bagus kok, hehe.” Asif memang tak suka dipanggil dengan namanya. Ia merasa, namanya terlalu bagus untuk dirinya yang terlihat dekil ini. Merendah untuk meroket memang.
“Ngaku lu,” kata Niran.
“Hem ... aku sih realistis. Nggak kek situ, sok-sokan cantik. Upps.” Niran memukul pelan lengan milik Asif.
“Udah jangan berantem. Yuk mulai dikerjain.” Mereka semua mengangguk.
Waktu hampir mendekati maghrib, tapi tugas mereka belum juga usai. Ini semua pasti karena percekcokan antar pendabat.
“Ayo dong! Bisa dimarahin Mama gue kalo pulang telat.”
Kena sembur seorang ibu karena pulang telat. Kapan giliranku?
“Astaghfirullah.” Rana mendesis pelan. Harus bersyukur, Ran.
“Disambunf kapan-kapan belajarnya?” tanya Ristha. Mereka semua serempak mengangguk. Takut kena omel ibu masing-masing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detikan Pelukan Mama [END]
Teen Fiction[Teenfiction - Sekuel Selembar Kisah] Laki-laki itu terjebak pada toxic relationship yang membuatnya harus kehilangan banyak hal; termasuk ibunya. Dunianya sudah berakhir. © stories 2020 by Syadira Hr. © cover 2021 by Pinterest. All rights reserved...