Bab 01 - Menutupi Kesedihan

321 25 0
                                    

Semua orang memiliki cara untuk menutupi kesedihannya, dan diamnya adalah emas bagi siapa saja yang berusaha untuk menghancurkan.

•••••

Jalanan kali ini sangat lenggang. Membuat Raffin melajukan mobilnya dengan kecepatan standar. Rana mendapatkan jadwal piket di sekolahnya. Tentu Raffin mengantarkannya sedikit lebih pagi.

Semenjak pekerjaan Raffin dipindahkan ke Lamongan. Tentu membuat semuanya berubah. Dimulai dari KTP, dan kartu-kartu identitas lain.

Anak bapak itu sudah sah menjadi warga Jawa Timur. Hari ini, Rana memilih diam tidak berbicara saat perjalanan menuju sekolahnya. Rana mengingat sesuatu, yang membuat dirinya kembali bersedih hati.

Sang ayah yang melihat anaknya seakan tengah memendam luka pun menjadi penasaran. Apa anaknya baik-baik, saja?

“Sayang. Kamu kenapa, Nak?” tanya Raffin sembari mengusap puncak kepala Rana. Rana menggeleng sambil menampilkan senyum. Hal itu membuat Raffin sedikit lega.

Pria itu kemudian melajukan mobilnya mencari Pom Bensin sekitar. Kebetulan ini masih sangat pagi dan bensin hampir ingin habis. Pom bensin sudah ada di depan mata, sayangnya macet.

“Duh. Pake macet lagi.” Pria itu takut melihat anaknya telat datang ke sekolah.

Rana yang peka, anak itu berkata, “Tidak perlu cemas Ayah, Rana tidak akan terlambat sekolah. Sudah tidak apa-apa.” Raffin mengangguk sebagai balasan untuk mengiyakan.

“Bener nih nggak papa?” Rana mengangguk semangat.

Sela mengantri Raffin berniat untuk mengajak anaknya berbicara.

“Rana. Sebenernya kamu nggak ada apa-apa, ‘kan?” tanya Raffin.

Antara senang dan tidak. Rana mengalami dua hal. Di sisi lain Rana senang ayahnya peduli tentang ini, tapi di sisi lain, Rana tidak suka jika ayahnya harus khawatir tentang masalahnya. Sangat bingung.

Ia hanya dapat tersenyum sambil menggeleng. “Rana nggak papa, Ayah. Jangan khawatir.”

“Kalau ada apa-apa, cerita sama Ayah, ya?”

—————

Pria itu melanjutkan perjalanan mengantarkan sang putra, sampai di tengah jalan, ia menepuk pelan jidatnya.

“Ayah, kenapa?” tanya Rana.

“Ayah lupa.”

“Lupa? Lupa apa?”

Raffin yang tengah fokus ke depan, sesekali melihat ke arah Rana. “Kamu pasti akan sedih. Ayah lupa kasih tau kemarin. Jadi, mungkin ini akan terkesan mendadak,” katanya lesuh. Membuat Rana tidak tega melihatnya.

“Ceritain aja, Yah. Nggak papa kok,” kata Rana sambil menatap ayahnya serius.

“Ayah besok harus ke Yogyakarta. Ada tugas di sana. Mau meeting dengan client baru.” Rana mengangguk, pasalnya ia sangat tahu bahwa ayahnya ini sibuk. Biasalah, ini juga dialami pebisnis lain.


“Rana nggak papa? Kalau nggak bolehin Ayah ke Yogya nggak papa, kok.” Rana menggeleng, ia menolak permintaan ayahnya.

Detikan Pelukan Mama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang