Bab 27 - Pahitnya Kehidupan

73 11 0
                                    

Kita terlalu meminta ‘segalanya’, padahal dunia bukan segalanya.

•••••

Bell istirahat pertama bunyi lima menit yang lalu, bahkan kini Radit, Rana, dan Jeff sudah pergi dari kelas. Ristha buru-buru meletakkan surat beserta satu bukti foto yang ia janjikan kepada Rana.

To Rana Asfar,
From someone care you.

Malam itu saya tidak sengaja bertemu mereka, laki-laki itu ayah kamu, kan? Saya tidak berniat memprovokasi, tapi kamu bisa selidiki untuk berjaga-jaga karena firasat saya seperti ada sesuatu menjanggal di sana.

Someone care you.

Ristha keluar kelas setelah selesai meletakkan surat itu dengan sempurna pada tumpukan buku yang ada di dalam loker. Waktu berjalan begitu cepat, bell masuk berbunyi. Seluruh siswa-siswi berhambur memasuki kelas mereka masing-masing. Termasuk dengan Rana.

Radit berdehem di samping Ristha, laki-laki itu menoleh dan keduanya eye contact. Ristha tersenyum sambil mengacungkan jempolnya tidak terlalu tinggi.

Terlihat dari iris mata Ristha, Rana sudah menyadari bahwa di lokernya ada surat. Pelan-pelan ia membuka isinya, tapi tiba-tiba ia berdecak dan tangannya mengepal seakan hendak meloloskan sesuatu.

—————

Malamnya, Ristha terikat janji dengan Radit. Bersama dengan Tharina, Radit mengajak Ristha untuk pergi bersama di pasar malam yang baru diadakan dua hari lalu.

Tharina menghela napas berat sambil duduk di kursi samping bianglala. “Ris, kok Radit temenmu itu nggak dateng-dateng sih? Capek nih.”

Ristha mengedarkan pandangan kemudian menggeleng. “Plis, jangan panggil Ristha. Call me Alina.”

Tharina tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. “Sorry, tadi kelepasan.” Ristha mengangguk.

“Gimana sambil nunggu Radit, kita cari gulali?” kata Tharina yang seketika membuat Ristha de javu.

Taman Hijau Lamongan. Tiga kata itu terpampang jelas pada pamflet yang berada di tengah-tengah pintu masuk sebuah taman di dekat alun-alun.

“Ris, kamu duduk di sini. Aku mau beli sesuatu.” Ristha mengangguk, Rana kemudian melesat.

Beberapa menit kemudian laki-laki itu kembali sambil membawa dua gulali bewarna hijau dan pink. Mata Ristha berbinar, anak itu menyukai gulali. Apalagi warna hijau.

“Nih buat kamu,” kata Rana sambil memberikan gulali pink ke Ristha.

“But, aku mau gulalinya warna hijau. Aku suka warna hijau soalnya.” Mendengar itu Rana melirik ke arah gulali hijau yang ia pegang di tangan kirinya.

“Terus aku makan yang warna pink?” tanya Rana yang Ristha angguki.

“Kenapa? Kamu nggak mau? Ran, warna pink bukan cuma buat cowok aja, kok,” kata Ristha.

“Sure. Yaudah nggak papa, nih,” kata Rana sambil menyodorkan gulali hijaunya. Keduanya kemudian menikmati udara sore bersama-sama kala itu.

Kenangan itu terus berputar layaknya sebuah kaset. Kenangan yang paling Ristha rindukan, dan rentan untuk mengulang.

Detikan Pelukan Mama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang