Hidup memang misteri. Kita tidak tahu, siapa yang lebih dekat menyerang dan menghancurkan kita dari belakang.
•••••
Sore ini Rana terduduk melamun di depan televisi. Ia sedang menemani Kania yang tengah bermain boneka barbie. Namun, Rana bukannya memperhatikan Kania bermain. Justru melamun tak karuan.
"Bagaimana ini?" hatinya terlihat sangat kacau dan gelisaj. Sepertinya tengah dirundung masalah.
Keanehan pada diri Rana mengundang Salma untuk mendekat ke arahnya. "Rana, jika ada masalah jangan dipendam sendiri," kata Salma sembari memberikan susu coklat untuknya."Mba Salma tau? Orang yang selalu Rana percaya selain ayah?" tanya Rana sembari membetulkan posisinya menghadap Salma.
Salma menggeleng, kemudian menebak, "Orang itu bisa saja bunda kamu."
"Iya. Benar. Bunda yang Rana percaya, tapi, kian usia Rana bertambah. Bunda pergi terlebih dulu meninggalkan kita berdua." Salma paham betul posisi Rana. Pasalnya, dia juga kehilangan ibunya saat usianya baru menginjak tiga tahun. Rasanya pedih, perih, dan sesak. Banyak caci maki dari teman-temannya.
"Rana, setiap yang bernyawa, pasti akan mati. Kita semua tidak mengetahui kapan kita akan meninggal alam fana inj. Begitupun dengan bunda kamu. Allah mengambil bunda kamu, itu tandanya Allah sayang sama bunda kamu."
"Kalau Allah sayang, kenapa Allah harus mengambilnya? Bukankah itu sakit ketika nyawanya dicabut oleh malaikat?" tanya Rana.
"Iya, tentu sakit, tapi, in syaa Allah bundamu akan bahagia di surga-Nya. Mba Salma sangat yakin akan itu," kata Salma meyakinkan.
"Kalau kamu ada masalah, kamu bisa menganggap Mba Salma ini ibu kamu." Rana sontak melihat ke arah Salma yang kini tersenyum.
"Mba Salma yakin?" Rana getir.
"Sangat yakin, ceritakan semua masalah kamu Rana. Mungkin kamu butuh teman untuk bercerita."
"Terima kasih, tapi Rana tidak bisa cerita." Rana mengambil susu coklat dan meminumnya. "Terima kasih susu coklatnya." Salma mengangguki.
"Mba Salma tinggal ya, kalau ada perlu, kamu bisa memanggil Mba Salma." Rana mengangguk.
Kali ini, Rana tidak ingin ambil pusing. Dirinya harus benar-benar kuat dan tegar. Dia harus membuktikan bahwa dirinya ini tak mudah untuk orang lain jatuhkan.
Karena, sejatinya hidup itu bukan saling menjatuhkan, tapi saling menguatkan. Rana mengambil beberapa album foto. Kemudian album itu diletakkan di atas sofa. Rana beranjak duduk di sofa, membuka lembaran demi lembaran album itu. "Bunda, Rana ingin bercerita."
Anak itu mengusap foto Ana yang sedang tersenyum penuh bahagia menyambut datangnya Rana. "Hidup Rana mendadak berubah semenjak menduduki bangku SMP. Rasanya, Rana ingin putus asa, tapi, kata ayah jangan berpikir untuk putus asa. Karena kita tidak tau bagaimana hidup akan berjalan kedepan. Karena itu, Rana jadi semangat buat bersekolah." Air matanya terus menetes. Banyak kepediham yang harus anak itu jalani.
"Bunda, salahkah jika Bunda tidak ada di samping, Rana? Kenapa teman Rana selalu menyalahkan masalah ini?"
"Tapi, akhir-akhir ini Rana juga semakin bertambah niat ke sekolah. Pasti bunda tau, bunda bisa lihat dari atas langitkan? Iya, Rana punya sahabat. Dia baik bunda, dia mau menerima Rana menjadi temannya. Rana banyak bersyukur kepada Allah." Rana terus mengoceh. Anak laki-laki ini benar-benar tidak tau harus melakukan apa agar masalahnya kian selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detikan Pelukan Mama [END]
Teen Fiction[Teenfiction - Sekuel Selembar Kisah] Laki-laki itu terjebak pada toxic relationship yang membuatnya harus kehilangan banyak hal; termasuk ibunya. Dunianya sudah berakhir. © stories 2020 by Syadira Hr. © cover 2021 by Pinterest. All rights reserved...