Bab 25 - Mulai Renggang

64 12 0
                                    

Sekarang. Jika nanti aku takut kamu akan lebih terluka.

•••••

Setiap rumah tangga memang selalu ada masalah. Memiliki lika-liku yang terkadang disepelekan oleh orang lain. Rana menyumpal telinganya menggunakan earphone. Anak itu benci dengan apa yang terjadi di rumahnya akhir-akhir ini. Ia tidak tahu apa yang membuat ini semua terjadi. Semua seakan langsung terjadi.

“Kamu nggak berhak buat mencemburui aku!”

Bentakan demi bentakan terus Raffin lontarkan. Ia tak suka dicemburui. Kamelia berlebihan, pikirnya. Keduanya tak pernah mau mengalah, mereka sama-sama memperdulikan egonya.

Awal-awal memang harmonis, tapi lambat laun pasti ada badai yang harus mereka berdua taklukan, bukan semakin memperdebat seperti ini.

Perilaku seseorang kebanyakan memang tergantung dengan lingkungan tempat tinggal mereka. Namun, terkadang lingkungan yang baik pun belum tentu membuat perilaku orang menjadi baik. Tergantung dari personalnya. Sesuatu yang baik tidak akan menjamin orang akan berubah.

Pengaruh buruk yang saat ini didapatkan Rana di rumah ternyata mengecoh masa kembangnya di sekolah. Laki-laki itu jadi semakin berantakan dan gampang sekali marah.

Ia masih memakai earphone dengan volume paling tinggi. Ia tidak mau mendengar apa yang tidak seharusnya didengar. Ternyata itu saja tidak mempan. Rana ingin kabur saja rasanya. Pemuda itu tidak ingin kehilangan seorang ibu untuk kedua kalinya. Ia sudah terlanjur nyaman dengan Kamelia.

“Bantu hamba Ya Allah.”

Merasa berdiam diri membuatnya semakin kepanasan sendiri, Rana melepas paksa earphonenya.

“Kalo aku nggak mau denger apa yang mereka omongin, aku juga nggak akan pernah tau masalah yang lagi mereka debatin.”

Rana berdiri. Ia berkaca di depan cermin. Wajah yang agak mirip dengan ibunya itu membetulkan rambut sebentar. “Oke Rana. Kamu harus kuat. Ini bukan saatnya mengalah dengan keadaan. Ayo lawan ini.”

Pemuda itu menghela napas. Ia ingin sedikit lebih tenang. Hening. Rana keluar dari kamarnya. Ia berjalan pelan-pelan mendekat ke kamar kedua orang tuanya. Ia berdiri di samping pintu. “Aku masih berharap kalau semua bakal bisa diselesain dengan cara baik-baik.

Isak tangis yang dihasilkan Kamelia membuat Rana tertegun. Tidak ada lagi yang mereka bicarakan, hanya suara tangis yang berdenging di telinga Rana saat ini. Ia ingin masuk, tapi tidak berani. Tidak masuk, tapi ingin menenangkan sang mama. Serba salah.

Sekuat tenaga, ia memberanikan diri untuk membuka pintu. Tidak dikunci ternyata. Rana langsung masuk.

“Ma.” Rana menghampiri Kamelia yang sekarang terduduk lemas. Meskipun tidak tahu apa yang terjadi, ia masih berusaha untuk menenangkan.

“Mama kenapa?” tanyanya sambil mengusap air mata Kamelia. “Tell me. Mama butuh Rana sekarang.”

Dengan tenaga yang ia kumpulkan. Rana berani membuka pintu kamar. Beruntung kamar tidak dikunci. Ia langsung masuk mendapati Mamanya yang sedang menangis. Dengan kondisi memeluk lututnya erat.

Kamelia tersenyum. “I’m okay. Oh iya, kamu udah belajar? Besok ulangan, loh.”

“Ma, please. Jangan pura-pura kuat di hadapan Rana. Rana tau, Mama pasti lagi nggak baik-baik aja. You not okay.”

“No. You wrong. Mama okay, Rana. Udah Mama nggak papa. Sana belajar.”

Rana menghela napasnya. “Gimana Rana bisa fokus belajar, sedangkan Mama sama Ayah debat terus. Rana yang denger juga capek, Ma. Kalian kenapa?” Rana lepas emosi.

Detikan Pelukan Mama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang