Persahabatan bagaikan matahari yang menghalangi awan hitam. Ia melindungi, ketika hendak diterjang badai.
•••••
First time, semua perlengkapan sekolah Rana disiapkan oleh Salma. Ini hal yang istimewa untuk dirinya yang tidak memiliki seorang ibu. Pernah dulu, tapi dengan neneknya, tapi bukan untuk sekolah, melainkan bermain.
“Udah ganti seragam, belum?” tanya Salma sedikit berteriak dari arah luar kamar Rana.
“Udah Mba. Ini lagi pakai sabuk,” sahut Rana dari dalam biliknya.
Salma yang mendengar tersenyum simpul. “Kalau udah selesai, nanti ke meja makan, ya, sarapan dulu.” Rana menyahuti.
Setelah ia lengkap dengan set seragam dan atributnya, anak laki-laki ini berjalan menuju ruang makan. Cukup bahagia rupanya diperhatikan sesosok wanita.
“Kak Rana!” Kaina yang sudah duduk di meja makan itu tersenyum menyambut kedatangan Rana.
Rana menarik salah satu kursi di sana. “Kania mau sarapan juga, ya?” Kania mengangguk antusias.
Salma meletakkan piring-piring berisi lauk pauk dan potongan-potongan dua jenis buah, tidak lupa, di sana ada seteko air mineral dan juga susu.
“Ini, ya, Ran.”
Rana mengangguk. “Iya Bun——, eh iya Mba Salma.” Anak laki-laki itu mendadak lesuh karena tiba-tiba merindukan bundanya. Rindu menyakitkan.
“Rana pasti ingat ya sama Bunda, ya?” Rana mengangguk.
“Doakan saja bundanya.”
“Pasti.”
—————
Bukan di Jakarta, jalan macet agaknya masih tidak terlalu. Jalanan lenggang membuat mobil putih ini melaju dengan kecepatan standart menuju gedung sekolahan elit di Lamongan.
Sampai di sekolah, selalu seperti ini. Tatapan teman seangkatannya selalu saja sinis. Tidak pernah ramah sedikit pun, bahkan Rana heran mengapa temannya ini tidak mau berteman dengan dirinya. Menurutnya, alasan tidak mempunyai ibu adalah alasan yang tidak logis.
Bagaimana bisa Rana berpikir seperti ini? Karena, masa iya gara-gara tidak memiliki ibu Rana tidak punya teman. Aneh, tapi sedikit membuat hati Rana perih, nyaris teriris.
“Murid buluk udah dateng,” kata Dio. Semua yang ada di sini tertawa menatap Rana. Dio adalah anak yang paling disegani di sini, sudah biasa. Dalam tiap sekolah pasti ada.
“Gangguin dong guys,” kata Ronald diakhiri tawa.
“Udah sana serbu!” kata Gilang. Mereka semua sontak mengambil buku dan merobek bagian tengahnya. Diremas-remas lalu dilemparkan ke Rana. Anak itu seketika menutupi wajahnya untuk melindungi diri. Ia tak punya kuasa untuk melawan. Ini lebih sering terjadi.
“Kenapa ini?” semua murid seketika duduk rapi ketika melihat Bu Tarina, guru Bahasa Indonesia masuk ke dalam kelas.
“Kalian ngapain kayak gitu ke Rana?” tanya Bu Tarina. Emosi wanita itu sudah memuncak. Selain mengotori kelas, ia juga membenci pembullyan masal seperti ini.
Semua murid terdiam. Bu Tarina menatap mereka semua dengan tatapan yang sinis. “Rana, kamu tidak apa-apa, ‘kan?” Rana menggeleng sambil tersenyum.
“Kamu duduk aja.” Rana mengangguk, lalu menuruti perintah gurunya.
“Hari ini, kalian melakukan apa ke Rana?” semua terdiam. “Apa ini tindakan yang dibenarkan?” semua masih terdiam. Bu Tarina geram, “Jawab!!!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Detikan Pelukan Mama [END]
Novela Juvenil[Teenfiction - Sekuel Selembar Kisah] Laki-laki itu terjebak pada toxic relationship yang membuatnya harus kehilangan banyak hal; termasuk ibunya. Dunianya sudah berakhir. © stories 2020 by Syadira Hr. © cover 2021 by Pinterest. All rights reserved...