Bab 26 - Adakah Kesempatan?

56 11 0
                                    

Terus berjalan ataupun mengalah tetap akan menjadi hal yang paling menyakitkan untuk saat ini.

•••••

Harusnya gadis itu sudah sampai di sekolah, tapi karena jalan yang enggan meredakan kemecetan, rencananya untuk sampai di sekolah lebih pagi sebelum Rana agaknya gagal. Lalu bagaimana ia memberitahu Rana tentang ayahnya?

Ristha ingat, dia punya Radit, tapi percuma. Suratnya dia yang pegang. Tiba-tiba muncul notifikasi dari layar ponselnya. Ia menarik panel notifikasi dan beralih masuk ke room chatnya dengan Radit.

— Radit —

Lin, masih lama?

Takut rana keburu dtng

Dia semakin takut. Padahal di surat sebelumnya ia akan memberitahu anak itu di jam yang sama, tapi ini apa? Ah, namanya juga manusia yang hanya bisa berencana.

Tidak. Gadis itu harus positive thinking. Bisa saja mereka hanya sebatas rekan kerja, tidak lebih. Namun, keadaan Raffin yang mengendari mobil seperti orang mabuk membuat Ristha kembali berpikir dua kali.

Ristha sampai sekolah, meskipun sedikit kecewa karena Rana sudah menduduki bangkunya, tapi ia tak hilang akal karena sebelum itu ia sempat menyuruh Radit untuk membawa laki-laki itu pergi dari tempat duduknya.

Dia menduduki kembali bangkunya setelah meletakkan surat itu di tas Rana. Radit masuk ke dalam kelas dan diam-diam mengacungkan jempol membuat Ristha mengangguk.

Radit menghampiri gadis itu dan duduk di sampingnya. “Haus, nggak?” tanyanya yang digelengi Ristha. Gadis itu tidak haus, tapi lelah.

“Kalau gitu ... hari ini mapel apa?” tanya Radit basa-basi.

Mendengar itu Jeff langsung menyahut tidak terima. “Wah ... nih anak kalau modus ketauan banget. Padahal berbulan-bulan ada di kelas ini, iso-iso’e nggak tau hari ini mapel apa,” katanya.

Seketika Radit memutar bola mata malas. “Banyak mulut, lu.”

Gendeng,” timpal Jeff mengatakan bahwa Radit gila dalam bahasa Jawa. Tinggal di Jawa Timur yang minim bahasa Indonesia membuat Jeff dan Radit memang sesekali menggunakan bahasa daerah mereka. Namun, semenjak kenal dengan Rana, keduanya menyesuaikan cara bicara hingga keterusan sampai sekarang.

Bell masuk berbunyi. Mungkin sebentar lagi guru akan masuk ke kelas. Usai berdoa dipimpin ketua kelas, Jeff baru menyadari bahwa sahabatnya Rana seperti terlihat gelisah.

“Nyari apa, to?” tanya Jeff.

“Kemarin aku dapet surat, katanya hari ini bakal ada surat lagi, tapi kok nggak ada?” jelasnya sambil menggeledah kolong meja.

Ristha yang tak sengaja mendengar penuturan Rana seketika menatap Radit.

Radit salting. “Li–lin. Kamu suka ya sama aku?” kontan Ristha langsung memukul lengan Radit.

“Geer!” serunya.

“Kok ngelirik?”

“Surat,” kata Ristha pelan. Radit pun mengerti apa yang dimaksud anak itu.

Jeff berdehem membuat keduanya tersadar dan kembali bersikap seperti biasa. Rana juga sedari tadi merasa tidak nyaman dengan kedekatan Radit dan Ristha. Anak itu sebetulnya merasa ada debaran aneh yang menyelimuti setiap kali matanya berhasil menangkap kedekatan Radit dan Ristha.

Setelah semuanya kembali normal, Ristha mendekatkan dirinya ke arah Radit. Anak itu lagi-lagi salah paham. “Lin! Belum waktunya ya Allah.”

Lagi-lagi Ristha memukul lengan Radit. “Kotor banget pikiran kamu!”

“Lah baru sadar, Lin?” sahut Jeff.

“Ikut aja bocah!” seru Radit.

“Kamu sih,” kata Ristha mulai lesuh. Hampir emosinya meledak.

“Eits ... ini permen susu asli milkita.” Ristha geram, ia menjambak rambut Radit sakit tak tahannya.

Radit meringis kesakitan, tapi tak membuat Ristha diam justru malah menjambaknya hingga anak itu memohon ampun.

“Kecil-kecil cabe rawit nih Alina,” kata Jeff menahan tawa melihat sahabatnya kesakitan. “Syukurin!” lanjutnya meledek Radit.

“Sakit, Lin ....” Radit masih meringis. Ristha jadi merasa bersalah. Anak itu buru-buru meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

“Sans. Aku nggak papa. Kenapa sih?” tanya Radit kembali ke topik awal.

“Dia bahas soal surat itu,” bisik Ristha. Gadis itu menghela napas sejenak, lalu kembali berkata, “sebenernya aku yang nulis, waktu itu kamu mendadak nggak masuk, aku jadi bingung, dan cuma surat yang bisa aku lakuin. Kemarin aku bilang bakal jelasin semuanya hari ini lewat surat itu, cuma aku bingung gimana ngasihnya, soalnya dia berangkat pagi banget.”

Radit melirik sekeliling. “Dia udah tau tentang foto itu belum?” Ristha menggeleng. “Nanti istirahat aku ajak di ke kantin, kamu mesti manfaatin waktu sebaik-baiknya.” Ristha mengangguk mendengar penuturan Radit, gadis itu kemudian kembali ke tempatnya semula dan bersikap biasa saja.

—————

Kepedihan adalah hal yang menyakitkan. Terlebih hubungan rumah tangga yang kurang membaik. Kamelia tidak tahu ia harus apa. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat Raffin bercanda mesra dengan seorang perempuan. Sayangnya ia tak melihat wajah perempuan itu. Siapa yang tidak cemburu?

Rekan kerja, kah? Tidak mungkin bisa sedekat itu, bahkan ketika ia bertanya siapa perempuan itu, Raffin malah seakan lupa bagaimana cara menghormati perempuan. Siapa yang tidak curiga?

Adu mulut memang kerap kali terjadi di dalam sebuah keluarga. Kamelia juga lelah dengan semuanya, tapi ia masih mencoba memahami dan selalu berprasangka baik bahwa kelak semua akan baik-baik saja.

Menikah dan hidup bahagia dengan pasangannya adalah impian Kamelia sejak ia tahu apa itu definisi rumah tangga sebenarnya. Sangat dadakan. Sampai ia baru sadar bahwa dari awal menikah ia belum mengisi mental penuh untuk menerjang ombak yang lebih dahsyat saat berada di tengah-tengah.

Apa ... masih ada alasan untuk ia bertahan? Atau kesempatan? Atau lagi ia harus ikhlas melepas?

•••••

To be continued.

All rights reserved. Tag me on instagram @syadrabakri if you want to share special part or everything about this stories.

Indonesia, 24 Juli 2020 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

Detikan Pelukan Mama [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang