Takdir Tuhan itu baik jika kita menyadarinya.
•••••
15 tahun sebelumnya.
Ana baru keluar dari rumah sakit. Akhir-akhir ini tubuhnya menggigil. Takut terjadi apa-apa terlebih anaknya masih kecil, wanita itu memilih untuk memeriksakan diri ke rumah sakit.
Baru beberapa langkah keluar dari lobi rumah sakit, tiba-tiba sebuah tangan menodong ke arahnya. Ia terkejut dengan laki-laki serba hitam yang ada di hadapannya.
Laki-laki itu memberikan surat, kemudian mendekat ke telinganya. “Jika Anda tidak meletakkan surat itu di bawah bantal, maka nyawa suami dan anak Anda dalam ancaman. Jangan pernah mempermainkan kata-kata saya.”
“Satu lagi, jangan pernah sesekali Anda membuka surat itu,” imbuhnya.
“Siapa kamu? Berani-beraninya kamu mengancam keluarga saya!”
“Anda tidak perlu tau, yang harus Anda tau, Anda harus pegang baik-baik kata-kata saya.”
Iman Ana menciut. Ia teringat anaknya masih kecil. Jalan satu-satunya ia harus menuruti laki-laki tidak jelas itu. Ia meletakkan surat itu di bawah bantal tanpa membukanya meski penasaran. Tidak tahu bagaimana bisa terjadi, tiba-tiba Raffin menemukan surat itu dan menenteng di depan Ana dengan wajah kecewa.
“Ini apa? Kenapa kamu nggak bilang, An?” tanya Raffin. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Bagaimana ia sampai tidak tahu hal yang seserius ini?
“Kenapa, Mas?” tanya Ana yang masih belum jelas mengetahui apa isinya.
Raffin membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya. “Kanker stadium tiga.”
Jantung Ana seketika memompa jauh lebih cepat. Sejak kapan ia menderita penyakit itu? Bagaimana bisa surat keterangan palsu itu beredar hingga sampai di tangan suaminya?
Tiba-tiba notifikasi telepon dari ponsel Ana membuyarkan semuanya. Ana hendak mengambil ponsel miliknya, tapi Raffin lebih dulu menyambar ponsel itu.
Connecting.
“Halo. Dengan siapa?” tanya Raffin pertama begitu tak kenal dengan nomor yang baru saja menghubungi istrinya.
“Halo, bisa berbicara dengan Ibu Riana?”
“Anda siapa? Saya suaminya.”
“Ah, selamat siang, Pak. Saya Dokter Ari Kusuma, dokter konsultan istri Bapak.”
Raffin melirik ke arah Ana. Sorot matanya terlihat sangat kecewa. Mengapa istrinya bisa setega ini membohongi dirinya?
Tidak, ini bukan Ana. Ana dipaksa. Dia tidak tahu apa pun tentang ini. Ana tidak tahu harus bagaimana, keluarganya harus selamat. Jalan satu-satunya memang pasrah.
Dua hari berlalu. Raffin pergi meninggalkan ibu kota demi untuk projek barunya di Lamongan. Ia sebetulnya tidak tega terlebih melihat kondisi istrinya tidak baik-baik saja. Namun, pekerjaannya juga tak bisa ditunda.
“Sst ... jangan nangis, Nak.” Ana meniup rambut anaknya yang terlihat mengeluarkan keringat karena suhu udara yang cukup panas. Padahal ruangan sudah ber-AC.
“Aa!” Ana memekik kala melihat seorang pria menodongkan pisau ke arahnya. Pria itu kemudian mengambil alih gendongan Ana dan meletakkan bayi itu di kasur.
Wanita itu disekap, ia tidak ingat apa pun. Sejak hari itu dunianya hilang.
New Normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detikan Pelukan Mama [END]
Teen Fiction[Teenfiction - Sekuel Selembar Kisah] Laki-laki itu terjebak pada toxic relationship yang membuatnya harus kehilangan banyak hal; termasuk ibunya. Dunianya sudah berakhir. © stories 2020 by Syadira Hr. © cover 2021 by Pinterest. All rights reserved...