Ingin bertanya, tapi pertanyaanku yang lalu masih belum dijawab. Dan ternyata dia ....
***
"Azka gak masuk sekolah ya, Bu?" tanyaku pada Kak Emi. Aku memanggilnya 'Bu' kali ini, karena ada anak-anak.Anak-anak sudah mau istirahat. Dan sudah seperti biasanya, aku selalu menghampiri kelas B untuk melihat bekal apa yang dibawa Azka. Namun, aku tidak melihat batang hidung anak itu. Padahal aku sudah mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Mulai dari ujung hingga ke ujung. Mulai dari atas meja sampai bawah meja.
Azka tak nampak pun. Begitulah kira-kira kalau Upin dan Ipin yang bicara.
"Iya nih. Gak ada pemberitahuan juga," jawab Kak Emi.
"Bu Naila gak ada bilang apa-apa sama Bu Tania?" tanya Kak Emi.
Guru-guru di sini tahu kalau aku dekat dengan Bu Naila, dan hampir setiap minggu aku chattingan dengannya.
Selain tentang Azka di sekolah, room chat kami kebanyakan isinya tentang makanan dan kesehatan. Aku yang selalu bertanya resep dan kesehatan dari Bu Naila.
Bu Naila jarang bertanya tentang Azka, karena aku selalu memberikan informasi tanpa diminta.
Pernah juga aku curhat dengan Bu Naila. Walaupun usianya tepat kepala tiga, tapi dia menanggapiku seperti teman seusiaku. Namun, tidak menghilangkan kedewasaannya.
Hei, kalian jangan berpikir kalau aku sengaja mengambil hati Bu Naila supaya bisa meminta restu menjadi istri kedua! Bukan sama sekali. Tolong diingat, bahwa dari awal aku sudah tekankan kalau aku tidak ingin menjadi pelakor, tapi ingin menjadikan Azka sebagai menantu. Jadi, tidak masalah kan kalau aku mencuri hati besanku. Hihihi ....
Walaupun aku tidak memungkiri, pernah terbesit di kepalaku ... Seandainya saja Bu Naila jadi kakak iparku, dan Papanya Azka jadi suamiku. Oops. Itu hanya pemikiran konyol. Karena yang telah terjadi tidak seperti itu. Dan waktu tidak mungkin berputar ke belekang.
"Gak ada. Dari kemarin WA-nya Bu Naila juga gak aktif."
Sampai sekarang, pesan yang kukirim masih centang satu. Padahal aku mau curhat tentang Aqlan. Walaupun aku sudah menegaskan kepada kedua orangtuaku akan menikah kalau usiaku sudah 25, tapi bukan berarti lamaran Aqlan aku abaikan begitu saja. Anggap saja aku sedang bimbang, antara menerima atau menolak.
"Mungkin Bu Naila gak pergi kerja. Kan lagi hamil muda. Jadi mungkin Azka temani mamanya di rumah."
Benar. Bu Naila hamil lagi. Aku sudah tahu beberapa hari yang lalu saat Azka datang hanya bersama Papanya.
"Mamanya Azka kok tumben gak antar?" tanyaku kala itu.
"Mama muntah-muntah," jawab Azka.
Aku pikir sakit, tapi suara bariton milik Papanya Azka menjelaskan.
"Lagi hamil, Bu." Senyumnya mengembang. Terlihat sangat bahagia.
Dan semenjak hari itu, Bu Naila mulai jarang ikut mengantar Azka.
"Ya sudah deh, Bu. Saya kembali ke KB lagi," pamitku.
Aku berani meninggalkan anak-anakku di KB, karena ada Bu Nikmah di sana. Walaupun anak di KB tidak sebanyak di kelas A dan B, tapi usia anak di KB alias Kelompok Bermain lebih muda dari kelas A, jadi butuh setidaknya dua guru untuk menangani mereka. Bisa mati kelelahan aku kalau sendirian. Nanti satu belum selesai BAB, yang satu mau pipis, yang lain malah berkelahi. Duh. Kalau ada temannya kan tidak sepusing itu.
***
Ini sudah tiga hari Azka tidak masuk sekolah tanpa kabar. Sampai siang itu, ketika kepala sekolah yang juga merupakan dosenku datang ke sekolah dan menyampaikan kabar yang membuat kami terkejut. Terutama aku.
"Innalillahi wa innailaihi raji'un," ucap kami bersamaan.
Kepala sekolah, aku, Kak Emi, Kak Seli, dan Kak Nikmah duduk di depan ruang kamar anak-anak.
Tadi kepala sekolah menyampaikan bahwa Bu Naila meninggal karena terjatuh di kamar mandi. Kondisinya yang lemah membuat anak yang dikandungnya lebih dulu meninggal. Dan beberapa saat kemudian, Bu Naila menyusul sebelum sempat ditangani.
Kami yang mendengar cerita kepala sekolah mendadak menjadi bersedih. Mata kami berkaca-kaca. Diakui oleh semua guru bahwa Bu Naila adalah sosok ibu yang baik. Sebenarnya, bukan hanya kami yang mengatakan demikian. Orang tua murid yang merupakan langganan dokter anak itu juga mengakuinya.
Pernah aku mendengar cerita dari orang tua murid bahwa Bu Naila selalu mananyakan kabar anak yang pernah dirawatnya. Padahal, jika anak itu sudah keluar dari rumah sakit, atau ruang praktiknya, maka itu bukan urusannya lagi. Namun, Bu Naila tidak demikian. Baginya, menjadi dokter juga seperti orang tua kedua. Sebagai orang tua, kita pasti sangat khawatir jika anak kita kenapa-kenapa. Jangankan sakit parah, sakit sedikit saja kita pasti khawatir.
Kalau kalian bertanya, aku tahu dari mana soal itu, padahal aku belum punya anak, jawabannya dari Bundaku. Beliau adalah orang yang paling kelimpungan jika anaknya sakit. Makanya, aku tidak mau mengeluh sakit kalau aku merasa tidak sakit parah. Walaupun jika ketahuan, aku pasti kena marah.
Tak jarang juga Bu Naila memberikan vitamin dan obat gratis kepada orang tua yang berekonomi menengah ke bawah. Dan dia pernah memberikan gratis padaku saat keponakanku sakit. Bukan karena perekonomian keluargaku di kalangan menengah ke bawah, melainkan karena kedekatan kami.
***
Aku melihat di televisi, banyak orang baik yang meninggal dunia di usia muda. Sedangkan para koruptor masih berjaya sampai usia tua.
Kenapa seperti itu?
Apakah Allah tidak ingin membuat dosa orang baik itu melebihi pahalanya?
Dan Allah ingin memberikan kesempatan bertaubat kepada orang yang keluar dari jalan-Nya?
Wallahua'lam. Tugas kita hanya mencari keridhaan Allah.
Jadi, bagaimana sejauh ini?
Akan dilanjut kalau yang baca udah sampai 50 lebih
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher Becomes a Mom
ChickLit[END] Hidupku yang biasa saja tiba-tiba memusingkan ketika dua lelaki melamarku. Apa yang harus aku lakukan? Memilih perjaka yang merupakan teman kecilku, ataukah duda yang merupakan Papa dari anak didikku? Lalu, ketika aku sudah memilih, harus dib...