Kalian suka menjadi orang dewasa? Alasannya?
***
Hari Jum'at adalah hari yang melelahkan. Tulang-tulangku rasanya rontok. Badanku sudah mandi keringat. Ah, nanti aku harus mandi sebelum menidurkan anak-anak.
Tadi aku ikut lari-lari bersama anak-anak. Hanya aku, guru lain tidak. Maklum, semangat mudaku masih membara. Kak Emi tidak ikut di lapangan, karena menyusui anaknya yang masih bayi. Kak Seli mengurus anaknya yang berumur dua tahun yang rewel hari ini. Jadilah hanya aku dan Kak Nikmah yang di lapangan tadi. Namun, Kak Nikmah tidak seaktif diriku yang ikut lompat sana lompat sini bersama anak-anak seperti anak-anak. Entahlah. Mungkin aku masih ingin menjadi anak-anak.
Oh iya, semua guru di sini aku panggil 'kak'karena mereka semua senior di kampus. Tapi mereka lulus sebelum aku masukkuliah. Jadi, di sini ada empat guru dan satu kepala sekolah. Ya iyalah, kepalasekolahnya satu. Kepala sekolah ini bukan seniorku ya, justru beliau adalahdosenku, makanya guru di sini adalah mahasiswanya semua. Beliau—Bu Hasnah—jugamerupakan pendiri PAUD ini.
Tapi aku memang pernah punya keinginan menjadi anak-anak terus. Tidak ada beban pikiran. Hidupnya hanya bermain. Seandainya aku yang diajak oleh Peter Pan ke Neverland, aku tidak akan seperti Wendy yang minta pulang. Aku akan tinggal di sana selamanya. Hoho ....
Aku menghempaskan tubuhku di sofa kantor, disusul oleh Kak Nikmah. Dia duduk dengan cara yang santai, tidak sepertiku. Usai memberikan olahraga, kami berdua menyerahkan anak-anak kepada Kak Seli dan Kak Emi.
Menarik napas dalam, aku teringat beberapa kerumitan menjadi orang dewasa. Di umurku yang ke 22 tahun ini dan profesiku sebagai guru, aku dituntut untuk bersikap dewasa. Sedangkan aku sendiri tidak tahu defenisi dewasa.
Apakah dewasa adalah orang yang selalu pergi pagi pulang malam untuk mencari nafkah?
Apakah dewasa adalah orang yang sudah memiliki anak?
Apakah dewasa adalah orang mampu mengurus diri sendiri?
Apakah dewasa adalah orang yang tidak pernah menangis?
Apakah ....
Apakah ....
Ah, entahlah. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Jika aku tidak dewasa, ya sudah, yang penting aku tidak merugikan orang lain apalagi negara.
"Semangatmu masih belum hilang ya. Masih kayak tahun lalu." Kak Nikmah meraih botol minumnya, hendak minum.
"Gak tahu," jawabku yang memang tidak tahu. Menurutku, aku melakukan apa yang aku mau. Jika aku terlihat bersemangat di mata orang lain, ya aku tidak tahu.
-----
Waktu menunjukkan pukul 11.30 saat aku sudah wangi sabun dan berganti pakaian olahraga dengan gamis berkain dingin. Beberapa pakaianku memang sengaja aku simpan di sini, mengingat dari pukul 07.00 sampai pukul 16.00 aku stay di sekolah ini. PAUD Kasih Ibu bukan hanya TK dan KB, tapi juga ada Tempat Penitipan Anak (TPA).
Tepat saat aku mengenakan jilbab di kamar tidur anak-anak, Kak Emi datang dan menyuruhku untuk menemani anak-anak yang menunggu jemputan.
Dan di sinilah aku. Duduk di depan kantor mengawasi seorang anak. Ya hanya seorang, karena baru saja ada orang tua yang menjemput anaknya, teman Azka.
Walaupun kedua orang tua Azka adalah pekerja, tapi anak mereka jarang dititipkan. Sebisa mungkin salah satu dari orang tua Azka menjemput. Dan yang lebih sering menjemput adalah Papanya, karena Papanya selalu berangkat kerja setelah mengantar anaknya sekolah, dan istrinya kerja.
Kenapa aku tahu? Walaupun Papanya Azka tidak pernah keluar dari mobil seperti Bu Naila saat mengantar anaknya itu, tapi kaca mobilnya selalu terbuka demi melihat anaknya sampai ke tangan gurunya.
Ini yang membuatku sedari tadi tersenyum di samping Azka yang memakan coklat batangnya. Papanya Azka termasuk pria tampan yang sudah diakui oleh guru-guru dan teman-temanku yang pernah PPL di sini.
Jangan kalian pikir aku suka Papanya. Tidak ya. Aku tidak mau menjadi perebut laki orang alias pelakor. Aku hanya mengagumi Papanya seperti aku mengagumi Mamanya.
Kalau dipikir-pikir, keluarga mereka adalah paket komplit. Cakep semuaaa, sopan, baik, ramah, kaya, dan lain-lain yang aku tidak tahu. Aku tidak menemukan kecacatan dalam keluarga Azka. Entahlah, karena aku tidak tahu secara mendalam.
Oh, oh! Lihatlah, mobil Papanya Azka sudah datang.
Azka yang lebih dulu menyadarinya sudah melompat-lompat kegirangan. Aku segera membantu Azka mengenakan tasnya.
"Papaaa!" teriak Azka yang langsung berlari begitu mendapati Papanya keluar dari mobil.
Lihatlah senyum berkarismanya. Ya Allah, nikmat Tuhan mana lagi yang aku dustakan. Di siang bolong begini semakin silau saja mataku melihat senyum pepsodent itu.
Pemandangan seperti ini bukanlah yang pertama kali aku lihat. Sejak pertama kali aku melihat senyuman menggoda iman itu, aku mengubah doaku setiap hari. Ah, bukan mengubah, lebih tepatnya menambahi. Aku menyisipkan kalimat—"kalau bisa, berilah hambamu ini jodoh yang tampan seperti Papanya Azka"—di samping kriteria lain yang aku inginkan dari Allah.
"Terima kasih, Bu." Suara baritonnya menyadarkanku dari kehaluan.
"Sudah salim sama Bu gurunya?" tanya pria itu pada Azka.
"O iya." Azka menepuk jidatnya, lalu mendekatiku dan menyalim tanganku.
"Assalamu'alaikum," ucap Azka.
Dengan lembut aku mengelus kepala Azka dan menjawab salamnya.
Aku melambaikan tangan pada mobil Azka yang sudah melaju sebelum aku masuk ke dalam, memberikan dongeng kepada anak-anak.
***
Suka tidak suka, kalian akan menjadi orang dewasa. In shaa Allah, jika umur sampai.
Terima kasih sudah baca, vote, dan komentar.
Kritik dan saran sangat dibutuhkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher Becomes a Mom
Chick-Lit[END] Hidupku yang biasa saja tiba-tiba memusingkan ketika dua lelaki melamarku. Apa yang harus aku lakukan? Memilih perjaka yang merupakan teman kecilku, ataukah duda yang merupakan Papa dari anak didikku? Lalu, ketika aku sudah memilih, harus dib...