Benarkah semua hanya mimpi yang tak 'kan menjadi nyata?
***
Aku tidak percaya kalau mereka memberikanku kejutan juga. Kue tart persegi dipegang oleh Bu Hasna. Mereka semua tersenyum kepadaku.
Aku terharu karena mereka mengingat hari lahirku. Ya, hari ini adalah hari kelahiranku.
"Gak usah pakai lagu ya. Kita juga sengaja gak pakaikan lilin. Langsung doa aja ya. Tapi ke dalam dulu yuk," ucap Bu Hasna.
Kami pun duduk melingkar di lantai ruang istirahat anak-anak. Mas Rafa yang memimpin doa, dan tentunya aku aminkan dengan sepenuh hati. Rasanya ada yang bergetar di dadaku. Ini pertama kalinya aku mendapat kejutan di hari ulang tahunku. Selama ini aku selalu menyembunyikan hari ulang tahunku dari teman-teman, karena takut dikerjai aneh-aneh. Aku sering melihat hal itu saat temanku ulang tahun. Entah itu dilempar telur, tepung, diceburkan di got, dan semacamnya. Menurutku, hal semacam itu malah membuat yang berulang tahun merasa tidak nyaman.
"Azka mau nyanyi untuk Ibu."
Kami tersenyum mendengar ucapan Azka.
"Azka mau nyanyi? Kalau gitu, ibu mau dengar."
Azka menarik napas dalam sebelum bernyanyi.
"Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun, Ibu. Selamat ulang tahun."
Aku memberi tepuk tangan untuk Azka, disusul dengan tepuk tangan yang lain. Selanjutnya, aku memotong kuenya. Suapan pertama aku berikan kepada Azka, dan suapan selanjutnya aku berikan kepada Mas Rafa.
Begitu kue itu masuk ke mulut Mas Rafa, semua langsung menggodaku.
"Cieee."
"Uhui."
Wajahku memerah tidak sih? Semoga tidak, walau terasa panas.
"Dicium dong," celetuk Bu Hasna.
Fix. Wajahku pasti merah sekarang.
Aku melirik Mas Rafa yang menatapku dengan senyum simpul.
"Di rumah aja, gak seru kalau di sini."
Jawaban Mas Rafa justru membuat godaan semakin terlempar kepada kami. Membuatku semakin malu. Apalagi dilihati oleh suami-suami rekan guruku.
Oh, image polosku.
-----
"Aku gak tahu kalau mereka mau buat kejutan untuk kamu," ujar Mas Rafa ketika kami sudah di mobil yang melaju ke rumah orang tuaku. Bunda menyuruh kami datang, yang aku tahu maksudnya. Tentu saja berhubungan dengan hari kelahiranku.
"Emang Mas Rafa tahu hari lahirku?"
Wajar dong, aku bertanya seperti ini, karena sejak bangun tidur, Mas Rafa tidak mengungkit apa pun tentang hari lahirku.
"Kamu kira saya gak tahu?" Kali ini Mas Rafa menatap kaca dashboard cukup lama. Untung lampu merah. "Aku tanya kamu deh, kamu tahu tanggal lahirku?"
Aku terdiam. Bukan aku tidak tahu. Serius. Aku tahu, tapi aku lupa. Aku hanya ingat tahunnya saja.
"Maaf, Mas. Lupa."
Mas Rafa tersenyum kecut, tapi berkata, "Gak masalah. Kalau udah berumur, tanggal lahir itu udah gak terlalu penting."
Aku jadi merasa tidak enak. Dalam sisa perjalanan, kami diselimuti keheningan sampai ke rumah orang tuaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher Becomes a Mom
ChickLit[END] Hidupku yang biasa saja tiba-tiba memusingkan ketika dua lelaki melamarku. Apa yang harus aku lakukan? Memilih perjaka yang merupakan teman kecilku, ataukah duda yang merupakan Papa dari anak didikku? Lalu, ketika aku sudah memilih, harus dib...