8. Tidak Sengaja Berjumpa

13.3K 1.3K 41
                                    

Terima kasih karna selalu memberikan komentar membangun

***

Enam menit yang lalu Azka dan Papanya sudah meninggalkan kediaman Razak, dan aku masih termenung di pelataran rumahku menatap uang merah di tanganku. Harapan seolah terbit.

Jangan salah paham! Harapan yang aku maksud adalah harapan untuk segera membeli rumah dan mobil sendiri. Itu adalah salah dua impianku yang belum terwujud.

"Ambil saja, karena sepertinya saya akan minta tolong lagi."

Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepalaku. Jika setiap kali aku menjaga Azka dan mengantarkan Azka pulang ke rumah bisa mendapatkan uang yang jumlah nolnya banyak seperti ini, pasti tabunganku akan menggembung dengan cepat.

Baiklah. Sekarang aku malah berharap besok Pak Rafa memintaku mengantar atau menjaga Azka lagi.

"Widih, uang merah nih. Satu ya."

Aku segera menyembunyikan kedua tanganku di belakang punggung saat Bang Naufal yang tiba-tiba datang hendak menarik salah satu uang dari tanganku.

"Ih, masa Abang minta uang sama adiknya. Malu dong, Bang," ledekku.

"Kalau Abangnya aku, ya gak bakal malu. Ngapain? Rugi. Siniin selembar."

Aku mengelak saat Bang Naufal hendak mengambil dari belakang punggungku.

"Enggak! Ini tuh untuk beli skincare. Ngerti dong kebutuhan cewek."

"Halah, skincare-mu cuma satu macam juga. Palingan harganya dua puluh ribu."

"Dua puluh tiga ribu." Aku meralat ucapannya dengan ketus.

"Yaelah, cuma naik tiga ribu. Masih banyak sisanya."

"Justru sisanya mau aku tabung untuk beli rumah sama mobil. Emangnya Bang Naufal, gak punya target."

"Eh, ngeledek."

Bang Naufal menjentikkan jarinya ke dahiku, membuatku meringis dan langsung mengelus dahi kinclongku.

"Lagian impianmu itu gak bakal kesampaian, kecuali kamu cari kerja tambahan."

Kok tambah ngeselin ya Abangku yang satu ini?

"Daripada cari kerja lain, mending cari suami kaya."

"Suami kaya?"

Aku mengangguk pasti.

"Terus kenapa Aqlan ditolak? Menurutmu dia kurang kaya?"

Kok pembahasan sampai merembet ke Aqlan? Aku akui kalau Aqlan kaya. Keluarganya pemilik pabrik minyak, dan dia anak satu-satunya. Pewaris tahta. Tapi gimana ya ... Seperti yang sudah aku beritahu bahwa hatiku belum srek menerima Aqlan.

Sayang memang kalau orang seperti Aqlan aku tolak, tapi aku pasti ikhlas kalau dia akhirnya bersanding dengan perempuan lain yang lebih baik dariku.

"Aku gak nolak ya, Bang. Aku cuma butuh waktu," elakku mencoba mencari kemenangan atas perdebatan kami.

"Butuh waktu kok sampai bertahun-tahun. Tergantung itu bisa bikin mati tahu, Dek."

Aku mengedikkan bahu tak acuh. Tak tahu harus melawan dengan kalimat apa lagi, aku lalu berbalik memasuki rumah.

***

Sabtu ini, aku datang ke acara mendongeng sekaligus talk show yang diadakan di Mall. Aku membela-belakan datang karena pendongengnya adalah Kak Awam Prakoso, salah satu pendongeng yang pandai menirukan berbagai macam suara. Kadang beliau membawa boneka tangan untuk menemaninya mendongeng.

The Teacher Becomes a MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang