Terima kasih atas antusiasmenya.
***
"Jadi kapan kamu bisa pulang?" tanya Nada setelah berbincang santai dengan Tania selama hampir sejam. Maklum, perempuan. Mereka masih punya banyak stok pembicaraan, terutama Nada. Perempuan itu selalu punya topik untuk bercerita, kerena dia tidak suka kesunyian.
Sebenarnya, Nada ingin membahas tentang Aulia dan Rafa. Namun, dia belum memiliki informasi yang valid. Dia tidak ingin Tania semakin kepikiran dengan informasinya yang setengah-setengah. Informasi yang terakhir kali disampaikannya saja langsung membuat Tania masuk rumah sakit keesokan harinya. Padahal mereka belum tahu tujuan Rafa dan Aulia pergi bersama. Kali ini, Nada akan berhati-hati memberikan informasi.
"Mungkin besok." Tania menjawab pertanyaan Nada. "Doain supaya dia kuat," pintanya seraya mengelus perutnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya bersiap memasukkan sushi ke dalam mulut.
Gara-gara Nada pernah membawakan sushi untuknya, sekarang Tania jadi sering ingin makan sushi.
"Coba pakai sumpit, Ta." Nada menyodorkan sumpit.
Tania menggeleng dengan wajah kecut. Kenikmatan makanan hilang kalau dia makan pakai sumpit. Motorik halusnya tidak bisa diajak kerja sama kalau menyumpit.
"Belajar. Siapa tahu calon menantumu nanti orang Korea."
Mendengar kata 'calon menantu', Tania teringat sesuatu. Dulu dia selalu berharap kalau Azka adalah menantunya. Dia juga pernah berdoa di setiap usai shalatnya untuk diberikan jodoh seperti Rafa.
And see. Sekarang Azka bukan hanya menantunya, melainkan anak tirinya. Dan alih-alih mendapatkan suami yang seperti Rafa, justru pria itulah suaminya.
Tania tersenyum kecut. Betapa takdir tidak bisa diprediksinya.
Seharusnya doa yang diucapkannya seperti ini, "Ya Allah, jodohkanlah hamba dengan laki-laki sholeh dan bertanggung jawab".
Bukan malah, "Ya Allah, berilah hambamu ini jodoh seperti Papanya Azka."
Seharusnya Tania senang, karena Azka menjadi anaknya dan Rafa suaminya. Namun, apa yang terjadi selama dia menikah, membuatnya menyesal telah berdoa seperti itu.
Atensi Tania dan Nada beralih ke pintu yang terbuka dari luar. Masuklah Azka dengan wajah sumringahnya. Dia berlari kecil seraya memanggil "Ibu".
"Azka?"
Tania senang bisa melihat anak yang dirindukannya. Namun, ada Azka, pasti ada papanya. Tidak mungkin anak itu datang ke rumah sakit sendirian.
Benar saja. Sesaat setelah Azka berdiri di samping ranjang Tania, Rafa masuk ke kamar rawat itu.
Rafa memberikan senyuman simpul kepada Tania yang tentu saja hanya dibalas dengan tatapan datar.
"Hmm, Ta. Aku ada urusan nih. Aku pulang ya."
Tania menatap Nada dengan tatapan memohon agar tidak pergi. Jika Nada pergi, maka suasana akan menjadi canggung. Namun, dia tidak bisa mencegah Nada, karna selanjutnya Nada berucap lagi bahwa urusannya penting.
Dengan berat hati, Tania membiarkan Nada pulang. Begitu Nada melewati Rafa, dia berhenti sejenak untuk menelisik Rafa. Masa bodoh kalau Rafa tersinggung.
Hampir sepuluh menit berlalu di ruang rawat itu. Rafa tidak mengatakan apapun sejak masuk sampai sekarang. Dia membiarkan Tania menanggapi celotehan Azka. Biar anaknya dulu yang melepas kangen, dia nanti saja.
Ibu dan anak walau tak sedarah itu masih berbincang saat kamar rawat terbuka. Bu Puspa memasuki ruangan. Rafa segera berdiri dan menyalami mertuanya.
Bu Puspa tersenyum seraya menepuk punggung Rafa. Dia sudah mendengar dari suaminya bahwa masalah ini adalah salah paham. Sayangnya, Tania selalu mendadak murung dan beralasan ini-itu setiap mendengar nama Rafa, seolah dia tidak ingin mendengar nama itu lagi. Tidak ingin membuat mood ibu hamil itu buruk, Bu Puspa dan Pak Razak memutuskan untuk menceritakan nanti saja kepada Tania kalau dia sudah siap. Untuk sekarang, Tania dan janinnya yang lebih penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher Becomes a Mom
ChickLit[END] Hidupku yang biasa saja tiba-tiba memusingkan ketika dua lelaki melamarku. Apa yang harus aku lakukan? Memilih perjaka yang merupakan teman kecilku, ataukah duda yang merupakan Papa dari anak didikku? Lalu, ketika aku sudah memilih, harus dib...