Tak mungkinkah kau beri hati untuk kumiliki dan kusimpan selamanya?
***
"Bunda mana, Bang?" tanyaku saat memasuki dapur yang menjadi satu dengan ruang makan.
Di meja sudah tersaji enam piring nasi goreng, dan hanya satu manusia yang aku lihat di sini yang sudah makan duluan. Kelaparan kali ya, sampai gak nunggu anggota keluarga lain.
Ayah menonton berita di ruang televisi, dan Mas Rafa sedang memakaikan baju Azka.
"Di WC," jawab Bang Naufal.
Aku manggut-manggut, lalu berniat membuatkan susu untuk Azka.
"Kok rambutmu gak basah, Dek?" tanya Bang Naufal.
"Kan gak keramas."
"Kalian ...."
"Bang!" potongku seraya meletakkan sendok dengan kasar sehingga dentingannya terdengar.
"Gak usah urusin rumah tangga orang lain. Urusin tuh nasib Abang. Udah dapat kerjaan baru, gak?"
Aku tidak mau Bang Naufal membahas hubunganku dengan Mas Rafa. Aku hanya takut menangis.
"Sebentar lagi. Ini aku mau interview hari ini."
"Semoga lancar, dan Bang Naufal dapat pekerjaan yang lebih baik dari sebelumnya," doaku tulus.
Kuletakkan susu yang sudah selesai aku buat di meja makan, kemudian duduk di depan Bang Naufal.
"Makanya, Bang, gak usah sok berani. Nyadar diri, kita itu bukan orang kaya. Mending cari perempuan yang sederhana. Keluarganya pasti ngerti keadaan kita. Percuma cinta kalau keluarganya gak merestui."
Wah, aku merasa bangga pada diriku sendiri. Ini pertama kalinya aku menasihati Abangku sendiri.
Bang Naufal tidak merespon. Kepalanya menunduk, dan tangannya sibuk memasukkan sesondok nasi goreng ke mulutnya.
Bang Naufal sampai speechless gitu. Mungkin dia sedang meratapi nasibnya, dan mencoba menerima keadaan.
***
Sore di hari Minggu ini rumah sangat ramai. Banyak anak-anak datang. Teman-teman Azka, keluargaku, guru-guru di sekolah, mahasiswi PPL, dan anak-anak panti asuhan.
Kami mengundang mereka untuk merayakan ulang tahun Azka yang sebenarnya jatuh pada hari Kamis tiga hari yang lalu. Pesta ini diadakan karena permintaan Azka. Gara-gara diajak Bunda ke pesta ulang tahun keponakanku waktu itu, pulang ke rumah Azka minta dirayakan juga. Jadilah kami membuatkan pesta juga. Ah, lebih tepatnya syukuran.
Hidangan disajikan dengan cara prasmanan. Tidak ada kue tart yang masih berbentuk utuh. Semuanya sudah dipotong-potong dan diletakkan di piring sebagai dessert. Sementara yang di depan Azka saat ini adalah tumpeng.
Setelah seorang ustadz memimpin doa, aku dan Mas Rafa menuntun Azka untuk memotong nasi tumpeng. Suapan pertama diberikan Azka untuk Papanya. Aku mendapatkan suapan kedua.
Acara selanjutnya adalah hiburan dan makan-makan. Karena ini acara anak-anak, maka aku mengundang badut dan pendongeng.
Senyumku mengembang melihat mereka menikmati acara ini.
"Terima kasih."
Aku sedikit terkesiap saat suara itu bersumber di sampingku. Sudut bibir Mas Rafa terangkat sedikit.
Ah, kapan aku bisa melihat sudut bibir itu terangkat lebih tinggi lagi?
"Untuk apa, Mas?"
"Semuanya setelah Naila pergi."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher Becomes a Mom
Chick-Lit[END] Hidupku yang biasa saja tiba-tiba memusingkan ketika dua lelaki melamarku. Apa yang harus aku lakukan? Memilih perjaka yang merupakan teman kecilku, ataukah duda yang merupakan Papa dari anak didikku? Lalu, ketika aku sudah memilih, harus dib...