Apakah seorang istri yang telah tiada masih berstatus istri?
***
"Pak," panggilku pada Pak Rafa sebelum aku menyantap sarapanku.
Ada Azka juga di ruang makan ini, di rumah Pak Rafa. Ini sudah beberapa hari usai resepsi kami. Syukurlah Azka sudah menerimaku lagi.
Pak Rafa membatalkan niatnya menyendokkan nasi ke mulut saat mendengar panggilanku. Duh, aku jadi merasa bersalah. Tapi aku harus bilang sekarang sebelum lupa.
"Ini kan hari Minggu. Pak Rafa free, jadi saya bisa minta tolong?"
Aku menirukan kalimat andalannya sebelum Pak Rafa mengucapkan permintaan tolongnya.
"Minta tolong apa?"
Tangan Pak Rafa yang tadi memegang sendok, kini meletakkan sendok. Tangannya bebas di samping kedua mangkuknya. Sekarang kami sedang makan bubur ayam buatanku, resep almarhumah Bu Naila. Dan kesekian kalinya, mereka memuji masakanku yang rasanya sama dengan buatan almarhumah Bu Naila.
"Kan tanaman di taman depan udah pada layu semua, jadi saya mau bersihin tanaman yang udah mati. Saya mau percantik lagi tamannya. Jadi saya butuh tenaga bapak. Saya udah beli tanaman hiasnya kok. Nanti Bang Naufal bawa ke sini, dan kita langsung eksekusi."
"Kamu beli tanaman hias?"
"Eh, astaga! Seharusnya saya izin dulu sama bapak ya?"
Seketika aku tersadar kalau aku sudah lancang. Walaupun umur pernikahan kami sudah sebulan lebih sedikit, tapi aku tidak merasakan status istri. Sampai sekarang, aku masih selalu tidur di kamar Azka walaupun pakaianku di kamar Pak Rafa.
Foto pernikahan yang terpajang di dinding juga bukan foto pernikahanku. Entah di mana foto pernikahanku. Padahal fotografer yang kami sewa memberikan kami sebingkai foto berukuran besar secara gratis. Mungkin tertinggal di rumah Ayah-Bunda, karena aku ke sini hanya membawa pakaianku.
Dengan keadaan rumah tanggaku yang seperti ini, justru aku merasa kalau status istri hanya pandangan untuk orang luar. Nyatanya aku adalah babysitter yang merangkap IRT. Untung uang yang ditransfer Pak Rafa ke rekeningku lumayan banyak. Bisalah mungkin tahun depan atau dua tahun lagi untuk cash mobil.
Kita realistis saja ya. Babysitter dan asisten rumah tangga saja dibayar, masa aku gratis. Benar, kan?
"Bukan itu maksud saya." Pak Rafa meralat ucapanku. "Kamu bebas menghias rumah ini selama kamu tidak diam-diam menjual barang-barang di sini."
Walah, kalau aku lakukan itu, berarti aku pencuri dong.
"Berapa harga tanaman hias yang kamu beli?" tanyanya.
"Saya kurang tahu, karna Bang Naufal yang beli. Saya cuma kasih dia uang saja."
"Berapa yang kamu kasih?"
"Satu juta."
Pak Rafa mengangguk-angguk. "Nanti saya ganti uang itu."
"Eh, gak usah, Pak. Kan saya belinya pakai uang yang bapak transfer ke saya."
"Uang yang saya transfer ke kamu itu uang untuk kebutuhan sehari-hari kita. Taman gak masuk dalam daftar."
Aku hanya diam dan mengangguk.
Sesaat aku berpikir. Memaknai kalimat Pak Rafa tentang tujuan uang yang dikirimkan ke rekeningku. Kalau uang sebanyak itu hanya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari, itu terlalu banyak. Mungkinkah Pak Rafa mau menu makanan yang mewah?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher Becomes a Mom
Literatura Feminina[END] Hidupku yang biasa saja tiba-tiba memusingkan ketika dua lelaki melamarku. Apa yang harus aku lakukan? Memilih perjaka yang merupakan teman kecilku, ataukah duda yang merupakan Papa dari anak didikku? Lalu, ketika aku sudah memilih, harus dib...