9. Kebun Binatang

12.2K 1.3K 29
                                    

Kemarin lupa mau kasih author's note. Kak Awam Prakoso yang ada di chapter sebelumnya itu ada orang aslinya ya. Belia memang pendongeng, tapi lebih sering mendongeng keliling dari satu daerah ke daerah lain. Dongengnya ada di channel youtube-nya, Awam Prakoso. Cocok banget dijadikan referensi untuk dongengkan si kecil.

Udah itu aja, happy reading!

Jangan lupa tombol bintangnya.

***

Aku menghitung jumlah kepala yang ada di aula. Hari ini akan ada pembelajaran di luar sekolah, tepatnya kebun binatang. Orang tua diizinkan untuk ikut serta. Tujuannya selain memberikan pengalaman langsung kepada anak-anak, guru mengharapkan sesama orang tua dapat saling mengakrabkan diri.

"Dua puluh empat ...."

"Bu Tania!"

Suara panggilan itu menghentikan hitunganku. Duh, menghitung ulang lagi nanti.

"Kenapa, Bu Emi?" Walaupun aku kesal karena hitunganku diganggu, aku tetap memberikan senyuman.

"Papanya Azka mau bicara sama kamu," bisiknya. Kerlingan jahil juga dia berikan.

Aku tahu alasan Pak Rafa memanggilku, dan itu bukan hal yang sedang dipikirkan Kak Emi.

"Kalau begitu, aku minta tolong hitungkan jumlah anak dan ortu yang ikut serta. Karna kayaknya ini melebihi yang didaftar kemarin deh. Takutnya tiketnya gak cukup, Kak."

"Jadi dari tadi kamu permasalahkan itu? Aduh, Tania. Gak usah pusing. Orang tua murid di sini gak ada yang pelit."

"Ya tetap saja aku gak enak kalau ada yang gak kebagian tiket, kan aku yang pesan tiketnya."

"Sini deh." Kak Emi menyuruhku mendekatkan telingaku ke mulutnya. "Hari ini Bu Hasna ikut pergi. Dan kalau beliau ikut, semua beres."

Aku mengangguk paham. Pantas saja. Biasanya, jika ada karya wisata hanya satu orang tua/wali yang boleh mendampingi anak. Namun, kali ini seluruh keluarga pun boleh diikutsertakan. Mulai dari bayi sampai kakek-nenek.

Bu Hasnah itu memiliki suami pebisnis kaya. Sahamnya di mana-mana. Dan dari ketenangan Kak Emi persoalan tiket, kemungkinan kebun binatang yang akan kami datangi ada saham milik suaminya Bu Hasna yang ditanam di sana.

"Eh, buruan temui Papanya Azka. Dia nungguin dari tadi di depan gerbang."

Kak Emi mendorongku hingga aku berjalan sendiri keluar aula menuju gerbang sekolah.

Sudah terlihat dari kejauhan, Pak Rafa berdiri di bawah pohon rindang yang tertanam di halaman sekolah dekat pagar. Azka yang mengenakan pakaian olahraga sekolah—wajib dipakai saat karya wisata—juga ada di situ.

"Bu Tania, Pa." Azka menarik-narik celana Papanya. Pria yang memakai kemeja biru itu menoleh ke arahku.

"Jadi pergi ke luar kota, Pak?" tanyaku setelah Azka mencium punggung tanganku.

"Jadi. Keperluan Azka sudah saya simpan di rumahnya Bu Tania. Sebenarnya tadi saya mau ajak berangkat bareng, tapi ternyata saya kesiangan."

"Saya pikir Azka gak jadi dititip. Ternyata kesiangan." Aku tidak sedang meledeknya. Kalimat itu keluar secara spontan. Sampai aku harus berdehem saat menyadari kefrontalanku. Namun, sepertinya Pak Rafa tidak merasa tersinggung. Dia lalu berbicara kepada anaknya.

"Azka, Papa pergi dulu ya. Kamu tinggal sama Bu Tania dulu. Jangan nakal dan jangan merepotkan Bu Tania."

"Iya, Pa," jawab Azka.

The Teacher Becomes a MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang