Thank you my friend sudah sempatkan baca karyaku.
Happy reading!
***
"Saya berikan waktu untuk Bu Tania berpikir, tapi jangan lama."
Kutarik tanganku ke pangkuan. Kutatap Pak Rafa yang ternyata sudah menatapku dengan tatapan pengharapan.
Gugup melingkupi diriku lagi. Kubasahi bibirku yang kering sebelum menjawab.
"Lebih baik bapak bicarakan dulu ke Azka. Dia sayang benget sama Mamanya. Takutnya, justru dia gak mau ada orang lain di keluarganya."
"Jadi, kalau Azka mau, Bu Tania juga mau?" tanyanya memastikan.
Sebenarnya, aku menjadikan Azka untuk menolak secara halus. Aku yakin Azka tidak menginginkan mama baru. Dia masih sayang sekali dengan mamanya. Namun, aku mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaan Pak Rafa. "Ya, jawabanku sama dengan kemauan Azka."
"Baik. Saya rasa Azka juga mau."
Aku tersenyum samar menanggapinya, lalu mengucapkan salam sebelum keluar dari mobil. Dia menjawab salamku sebelum pintu mobil aku tutup.
***
Empat hari Azka dirawat di rumah sakit dan selama itu pula aku izin tidak mengajar. Ini karena permintaan tolong dari Pak Rafa. Dia minta tolong padaku untuk menjaga Azka selama dia pergi kerja, dan itu artinya aku harus di rumah sakit saat jam kerjaku sendiri. Bagusnya, dia selalu mengantar jemputku. Setidaknya aku tidak keluar uang bensin.
Hari ini Azka diperbolehkan pulang, makanya Pak Rafa hanya setengah hari di kantor.
Usai mengurus administrasi, aku, Azka, dan Pak Rafa pulang.
"Bisa tidak, lain kali duduknya di depan semua?" tanya Pak Rafa seraya melirik aku dan Azka melalu kaca dashboard. Hanya sebentar, karena dia masih menyetir.
"Memang kenapa, Pak?" tanyaku yang benar-benar tidak tahu.
Azka sibuk memutar-mutar rubik yang aku berikan untuk menghilangkan kebosanannya saat di rumah sakit. Aku juga ingin tahu, apakah Azka jenius?
"Saya berasa seperti supir."
Aku menahan tawaku mendengar ucapan Pak Rafa.
"Azka walaupun kecil, dia itu berat, Pak. Saya gak sanggup harus mangku dia selama perjalanan."
"Ya Bu Tania saja yang di depan, biar Azka di belakang."
Mendadak, aku merasa canggung. Lebih baik aku tidak menanggapi ucapannya.
"Bu Tania bisa masak?" tanyanya setelah beberapa saat hening.
Tentu saja aku bisa masak. Tidak mungkin aku kebagian jadwal masak di TPA, kalau tidak bisa masak. Bisa-bisa anak-anak masuk rumah sakit semua.
"Bisa, Pak." Itu jawabanku, karena aku tahu Pak Rafa tidak tahu apa saja yang dilakukan guru-guru PAUD di sekolah.
"Masakan sederhana sih," imbuhku.
"Kalau begitu saya bisa minta tolong?"
Minta tolong dimasakkan? Intronya kentara, Pak.
"Apa, Pak?"
Tapi tetap, aku harus bertanya. Jangan sampai aku salah mengira.
"Saya minta tolong masakkan makan malam untuk saya dan Azka. Saya tidak mau Azka sembarangan makan. Dia masih masa pemulihan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Teacher Becomes a Mom
ChickLit[END] Hidupku yang biasa saja tiba-tiba memusingkan ketika dua lelaki melamarku. Apa yang harus aku lakukan? Memilih perjaka yang merupakan teman kecilku, ataukah duda yang merupakan Papa dari anak didikku? Lalu, ketika aku sudah memilih, harus dib...