Perjalanan menuju Mojoagung aku mulai setelah menghadiri Haul Gus Miek. Perjalanan dari Kediri menuju Mojoagung kulakukan setelah Magrib dan kondisi jalan sudah gelap kala itu. Jantungku berdebar-debar karena sangking penasarannya orang seperti apa yang akan aku temui. Pondok yang diasuh Gus Kamal, bernama Nur Muhammad terletak di daerah cukup terpelosok, dan masih memiliki suasana Desa Kuno Khas Jawa Timur.
Sesampainya di Pondok aku bertemu dengan beberapa santri dan bertanya mengenai pendaftaran Pondok. Namun sebelum benar-benar mendaftar menjadi santri disana, aku ingin sowan dulu dengan Gus Kamal. Tapi yang paling buruk dari sekedar sowan adalah Menguji beliau sebagai seorang Kyai. (Sungguh kisah yang sangat bodoh untuk dikenang, tapi mungkin ini bagian takdir dan perjalanan hidupku di dunia).
"Assalamualaikum"
"Masuk.. Jadi kamu orang yang mau berguru dengan saya. Sembari berdehem beberapa kali."
"Skip..."
Inti dari pembicaran kami adalah mengenai keegoisanku dalam menuntut ilmu, pembongkaran aib-aibku, kata-kata pedas dari beliau, dan ujian dan "test" yang beliau berikan kepadaku untuk menguji niatku dalam menuntut ilmu. Aku tau bahwa hal beliau lakukan kala itu untuk demi kebaikanku suatu hari nanti, tapi karena hatiku masih sangat kotor jadi aku tak dapat berpikir jernih dan masih ingin membuktikan bahwa aku bisa mondok disini. Akhirnya beliau meng-iyakan untuk aku mondok disana, dan menyerahkanku kepada pengurus Pondok.
Waktuku disana tidak lama, hanya 4 hari tiga malam. Keesokan harinya setelah dari pembicaraanku kala itu, aku hanay merenung dan menghafal beberapa surat di Juz 30. Aku merenung apakah pilihanku tepat atau tidak, rasanya aku sudah mengecewakan Gus Shampton. Maklum, saat izin untuk ke Gus Kamal, Gus Shampton seperti kurang Ridho untuk melepasku. Tapi mungkin beliau sadar benar, bahwa hanya rasa kapok yang dapat menyadarkanku kala itu. Beberapa kali bertemu di Gus di Pondok, Gus selalu menggoda ku dan mengujiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang bertolak belakang dengan keinginanku dan tujuanku.
Hingga di hari ketiga akhirnya, aku memutuskan untuk menghadap beliau dan meminta izin untuk keluar pondok. Aku sadar bahwa aku egois, aku salah karena mengajukan izin yang mungkin guruku tidak ridho, aku salah karena ingin mempelajari Al-Quran yang suci dengan penuh nafsu, aku sadar bahwa aku ingin mempelajari Al-Quran karena gengsi di umur ke 22, aku belum bica membaca Al-Quran dengan lancar seperti teman-teman yang lain dan kesalahan-kesalahan lainnya yang ternyata selama ini aku dibutakan nafsu dan kebodohan.
Aku heran bukan main, ketika dihadapannya untuk izin keluar Pondok, mata ini seketika langsung menangis. Secara logika seharusnya aku lebih mudah menangis di depan Gus Shampton, tapi herannya aku tidak pernah menangis di depan Gus. Kalaupun aku merasa tersentuh dan sedih, selalu ada hal hal yang membuatku bingung bagaimana mengungkapkannya dan akhirnya tak jadi aku ungkapkan. Tapi di depan orang yang baru aku kenal, aku menangis sesenggukan.
Aku sadar benar bahwa Gus Kamal sejatinya sayang sekali denganku, beliau perhatian sekali denganku, tapi yang lebih penting dari itu ada hal-hal yang perlu di eleminasi terlebih dalam diriku untuk mendapatkan sebuah ilmu bersifat suci, dan itu hanya bisa dilakukan dengan cara menghinakan diriku dan membuatku sakit hati. Kata-kata beliau pada malam itu tak akan kulupakan dan akan selalu kuingat hingga sekarang. Diakhir pembicaraan kami pada hari ketiga beliau menyuruhku untuk mandi tengah malam, melakukan shalat hajat di Mushola Pondok sebelum aku pulang, dan berpesan
"Kamu itu saat ini jalan-jalan saja dulu, lihat sisi dunia ini yang belum kamu lihat, dan temui jenis-jenis orang yang kamu belum temui"
"Suatu hari kamu tak hanya bisa membaca Al-Quran dengan lancar, tapi juga mengerti dan bisa memaknai kandungan isi Al-Quran"
"Dulu saya bersama KH. Khobir Siroj, saya baru membenahi bacaan tajwid saya diumur ke 23 saya. Rupanya kalau masa muda gak bandel itu gak keren"
"Atau saya akan bombing kamu khusus selama 30 hari sampai gurumu datang dari haji, kamu setoran dengan saya setiap hari selepas magrib atau kalau kosong kamu ke rumah" (Tapi dititik ini, aku sudah merasa bersalah sekali dan rasanya ingin menunggu sang guru pulang dari tanah suci dan meminta maaf kepada beliau, jadi tawaran beliau aku tolak dengan halus)
Sungguh pesan beliau kali ini merupakan "kode" atau ramalan tulus dalam hati, nada bicaranyapun sudah tidak lagi tinggi dan halus menyentuh hati. Ku salami beliau dan akhirnya kulakukan perintahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIFE : The Unexpected Journey
SpiritualSebuah buku berisikan kisah seorang pemuda yang sedang mencari jati diri hingga makna kehidupan melalui jalan yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Namun siapa sangka, ternyata jalan inilah, jalan yang membawa dirinya untuk mengenal lebih luas San...