Gendhis melirik jam di sudut dinding tak jauh dari meja kerjanya. Jam sudah menunjukkan pukul 10.00, tapi Arnesh belum juga menunjukkan tanda-tanda akan datang ke kantor. Gendhis terlihat gelisah menunggu sang atasan. Bukan karena ada meeting yang harus dihadiri Arnesh hari ini, Gendhis sengaja mengosongkan jadwal Arnesh selama tiga hari usai hari pertunangan pria itu untuk berjaga-jaga jika atasannya capek atau ada acara lain dengan keluarganya, tapi apa yang dikatakan mamanya semalam usai pulang dari acara pertunangan Arnesh dan Nirina membuatnya kepikiran hingga kini.
"Pak Arnesh ngebatalin pertunangannya tadi. Dia pergi dari acara itu. Calon tunangannya sampe nangis histeris. Duh, nggak kebayang gimana malunya mbak Anita deh!"
Gendhis berdiri, melihat keluar jendela ke arah tempat biasa Arnesh memarkir mobilnya. Tidak ada mobil mewah milik Arnesh di sana. Yang ada tempat itu sudah diisi mobil lain, bukan mobil milik sang atasan. Gendhis menghela nafas pelan.
"Pak Arnesh kemana sih? Apa dia nggak ngantor gara-gara kejadian kemaren ya?"
Gendhis kembali duduk di tempatnya. Sebenarnya terbersit rasa senang Arnesh membatalkan pertunangannya dengan Nirina. Tapi juga merasa iba, karena Arnesh pasti akan mendapat masalah besar dari kedua orangtuanya karena sudah mempermalukan mereka.
"Hai, Ndhis!"
Gendhis seketika mendongak "Kak Marcel!"
Marcel berhenti di depan meja kerja Gendhis. Wajah pria itu tak secerah biasanya. Mungkinkah Marcel juga ikut terkena dampak atas kejadian batalnya pertunangan itu? Secara dia kan sahabat Arnesh.
"Pak Arnesh nggak ke kantor, kak?" tanya Gendhis.
Marcel menggeleng "Dia.... Dia nggak pulang sejak dia pergi dari pertunangan kemaren!"
Gendhis membulatkan matanya "Hah?! Kok..."
"Lo pasti udah tau kan apa yang dikatakan Arnesh waktu dia ngebatalin pertunangannya kemaren? Lo di sana kan?" terka Marcel.
Gendhis menggeleng "Gue emang ke sana kemaren, tapi gue bener-bener nggak tau kalo pak Arnesh ngebatalin acaranya. Gue....."
Gendhis menggaruk tengkuknya yang tak gatal sembari meringis "Gue ketiduran di mobil."
Marcel mendengus "Payah lo!"
"Emang.... Pak Arnesh bilang apa?" Gendhis penasaran.
"Dia pergi dari rumah, cabut dari kepemimpinan kantor ini, dan...." Marcel menghela nafas "Dan dia nggak bawa harta papinya sepeserpun!"
"Hah?!" Gendhis terbelalak "T-terus pak Arnesh kemana sekarang?"
Marcel mengendikkan bahunya "Mana gue tau! Kalo gue tau, udah gue seret dia pulang."
"Gara-gara dia pergi, gue jadi harus ngegantiin posisi dia di perusahaan ini buat sementara waktu. Padahal, gue nggak ngerti sama sekali ngurusin urusan kantoran begini." gerutu Marcel.
"Kak Marcel tenang aja, gue pasti bantu kak Marcel buat urusan kantor. Tapi.... Pak Arnesh..." Gendhis menggigit bibirnya.
Jujur, dia mengkhawatirkan keadaan Arnesh. Gendhis tidak bisa membayangkan hidup Arnesh tanpa fasilitas yang selama ini didapatkannya dengan mudah. Jika Arnesh harus hidup tanpa harta dari papinya, apa mungkin dia sanggup?
"Tenang aja, om Perwira udah minta orang suruhannya buat nyari keberadaan Arnesh!"
Gendhis menggeleng "Bukan itu, m-maksud gue, apa dia bisa hidup tanpa kemewahan itu?"
Marcel tersenyum, meski sedikit dipaksakan "Arnesh itu pinter. Dia pasti udah nyiapin segala hal sebelum dia melakukan sesuatu yang beresiko. Dia emang kehilangan fasilitas dari papinya. Tapi gue yakin, dia punya cara buat bertahan hidup!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Boss [ COMPLETED ]
RomanceBagaimana jika seorang pimpinan perusahaan travel ternama jatuh hati kepada seorang sekretaris magang yang usianya jauh di bawahnya? Kendala restu keluarga, status sosial, hingga perbedaan usia akankah membuat mereka menyerah untuk memperjuangkan k...