Gendhis baru saja turun dari taksi dan seketika terbelalak hebat ketika netranya mendapati Santi duduk menangis di depan pintu rumahnya yang tertutup rapat. Beberapa koper berserakan di samping Santi. Dan yang lebih mengejutkan, di pintu rumah Gendhis terdapat tulisan besar 'DISITA BESERTA ISI DAN ASETNYA'. Segera Gendhis menghampiri Santi yang masih sesenggukan.
"Ma!"
Santi mendongak dan segera memeluk Gendhis erat. Tangisnya kian meraung, membuat Gendhis juga tak kuasa menahan air yang sudah mengembang di kelopak matanya untuk tidak jatuh membasahi pipi.
"Maafin mama, Ndhis! Maaf..."
"Udah, ma!" Gendhis mengusap lembut punggung wanita paruh baya itu "Semua udah terjadi. Yang penting mama baik-baik aja. Mama nggak ada yang sakit kan?!"
Santi menggeleng
"Syukurlah!"ucap Gendhis.
"Tapi rumah ini peninggalan papa buat kamu!" Santi mengurai pelukannya "Mama salah udah ngorbanin masa depan kamu!"
Gendhis menyeka air mata Santi dengan kedua ibu jarinya.
"Kekayaan nggak dibawa mati, ma. Harta bisa dicari nanti. Yang terpenting sekarang, mama masih tetep ada di samping Gendhis. Itu yang paling utama buat Gendhis!" ujar Gendhis bijak.
Bukannya berhenti menangis, Santi malah semakin tergugu dalam tangisannya. Rasa bersalahnya kepada Gendhis terlalu besar. Terlalu banyak kesalahan yang diperbuatnya kepada Gendhis.
"Kalo kamu mau marah sama mama nggak papa, Ndhis! Mama banyak salah sama kamu selama ini."
Gendhis menggeleng sembari tersenyum getir "Buat apa marah sama mama? Kan Gendhis udah pernah bilang, orangtua Gendhis tinggal mama. Gendhis bakal lakuin apapun itu buat mama."
Gendhis menghapus air matanya dan mulai membenahi koper-kopernya juga Santi yang berserakan.
"Sekarang mending kita cari tempat buat kita tinggal sementara deh, ma. Bentar lagi malem, mama nggak mau kan kita tidur di teras rumah ini?" usul Gendhis.
"Kamu bener!" Santi meraih koper-koper miliknya "Kita cari kontrakan kecil dulu buat tinggal! Tapi kemana? Mobil aja juga ikut disita!"
"Kita bisa jalan kaki. Nggak masalah buat Gendhis!"
"Yakin?"
Gendhis mengangguk "Yakin, ma!"
"Duh, tapi mau nyari kemana ya? Mama nggak terlalu hafal daerah perkampungan di sini. Kalo nyewa di perumahan elit, duit mama mana cukup!" desah Santi bingung.
"Atau mama mau Gendhis hubungin om Awan buat bantu kita?" usul Gendhis.
Santi menggeleng cepat "Udah mama bilang kan, jangan libatin om kamu!"
"O-okey!" Gendhis pasrah.
Seharusnya masalah mereka tidak akan menjadi serumit ini jika Santi mau mengikhlaskan semuanya. Kalau saja Santi membiarkan Gendhis menghubungi Awan, menandatangani surat serah terimanya untuk memimpin Sanjaya group, semua beres dalam sekejap! Mereka tidak harus kehilangan toko kue dan rumah mereka, juga tidak harus mencari kontrakan kecil untuk mereka tinggal. Tapi apalah daya Gendhis. Keputusan Santi tidak pernah bisa Gendhis ganggu gugat.
Gendhis dan Santi baru keluar dari gerbang rumahnya ketika sebuah mobil berhenti di depan mereka. Seketika langkah Gendhis dan Santi terhenti karena terhalang mobil itu. Seseorang turun dari mobil dan beranjak menghampiri dua ibu dan anak itu.
"Gendhis! Mama! Kalian mau kemana?"
"Doni!" gumam Santi.
"Lo ngapain ke sini, Don?" tanya Gendhis.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Boss [ COMPLETED ]
عاطفيةBagaimana jika seorang pimpinan perusahaan travel ternama jatuh hati kepada seorang sekretaris magang yang usianya jauh di bawahnya? Kendala restu keluarga, status sosial, hingga perbedaan usia akankah membuat mereka menyerah untuk memperjuangkan k...