Hari minggu pagi yang sangat cerah. Gendhis sudah berdiri di depan pintu sebuah rumah klasik yang masih tertutup rapat. Dua tas besar ditenteng Gendhis di masing-masing tangannya. Mungkin dia terlalu pagi datang ke tempat itu, pasti semua penghuninya sedang sarapan bersama di dalam.
Gendhis meletakkan salah satu tas bawaannya ke lantai kemudian tangannya yang kosong terulur berniat untuk mengetuk pintu besar di hadapannya. Belum sempat kulit tangan Gendhis beradu dengan kayu jati, benda persegi panjang yang tingginya melebihi tinggi Gendhis itu perlahan bergerak. Suara derit pintu terbuka membuat Gendhis kembali menarik tangannya.
"Non Gendhis!"
Gendhis tersenyum kaku "Bu Rahma!"
Ya, Gendhis kini berada di panti asuhan milih Rahma. Minggu kemaren yang seharusnya jadi jadwal rutin Gendhis mengunjungi panti ini, harus Gendhis lewatkan karena suatu hal. Dan sebagai gantinya, hari ini Gendhis meluangkan waktunya untuk menyapa anak-anak panti yang, kata Arnesh, merindukan Gendhis.
Gendhis membungkuk meraih tangan Rahma dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu sekilas, setelah itu kembali berdiri tegak.
"Masuk, Non!" pinta bu Rahma.
Gendhis mengangguk kemudian mengambil tas yang diletakkannya di lantai tadi dan selanjutnya mengikuti Rahma masuk ke dalam ruang tamu panti. Gendhis berangsur duduk di samping Rahma yang sudah terlebih dulu duduk di kursi ruang tamu itu. Dua tas yang dibawanya tadi di letakkan tak jauh dari tempatnya duduk.
"Non Gendhis mau minum apa?" tawar Rahma.
"Nggak usah, bu!" tolak Gendhis "Gendhis nggak lama. Abis ini Gendhis harus ke toko bantuin mama."
"Ooh, gitu!" Rahma mengangguk paham "Yaudah, kalau begitu!"
"Maaf ya, bu! Minggu kemaren saya nggak bisa dateng. Toko mama lagi kejar setoran banget. Toko lagi sepi soalnya!" ujar Gendhis.
Rahma menggeleng sembari tersenyum "Nggak papa, non. Ibu maklum kok!"
Gendhis tersenyum lega. Paling tidak, dia tidak mengecewakan seseorang yang mengharap kedatangannya.
"Oh, iya, buk! Anak-anak dimana?" tanya Gendhis sembari mengelingkan matanya.
"Lagi pada nyobain mainan baru, non." jawab Rahma.
Kening Gendhis berkerut "Mainan baru?"
Rahma menganggukkan kepalanya mantab "Dari pak Arnesh."
"Bukannya dia udah nggak tinggal di sini ya, bu?" Gendhis bingung.
Wajah sumringah Rahma sedikit pudar ketika mendengar kalimat Gendhis.
"Pak Arnesh memang udah nggak tinggal di sini lagi, non. Tapi dia memberikan banyak fasilitas bermain dan belajar untuk anak-anak. Pak Arnesh juga membiayai semua pembayaran sekolah anak-anak juga semua kebutuhan panti. Ibu sangat bersyukur bisa kenal dengan pemuda sebaik pak Arnesh!" tutur Rahma.
Gendhis sedikit tertegun mendengar penjelasan Rahma. Dia tahu Arnesh memang memiliki segalanya, tapi dia tidak menyangka atasannya itu akan melakukan hal yang sungguh besar artinya untuk Rahma dan anak-anak panti. Dia pikir Arnesh adalah orang yang perhitungan dalam segala hal, nyatanya tidak sama sekali.
"Non Gendhis sedang ada masalah sama pak Arnesh ya?" tanya Rahma membuyarkan lamunan Gendhis.
"Eng-nggak, kok bu!" elak Gendhis "Nggak ada masalah apa-apa!"
"Tapi pak Arnesh bilang non Gendhis lagi nggak mau ketemu sama dia!" adu Rahma mengingat perkataan Arnesh waktu itu.
"Ah, nggak bener itu, bu!" elak Gendhis "Dia aja yang pikirannya negatif mulu ke Gendhis! Dia tuh ter...."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect Boss [ COMPLETED ]
RomanceBagaimana jika seorang pimpinan perusahaan travel ternama jatuh hati kepada seorang sekretaris magang yang usianya jauh di bawahnya? Kendala restu keluarga, status sosial, hingga perbedaan usia akankah membuat mereka menyerah untuk memperjuangkan k...