• Tiga

9.1K 479 18
                                    

"Biar, Gema aja."

Dibiarkan saja dua koper miliknya , diperhatikan dari belakang tubuhnya dan lumayan atletis juga. Kepala Jana menoleh untuk mencari objek lain kemudian tersenyum miris.

Meski hari sudah mulai sore dengan semburat jingga perasaan Jana akan terus merasa seperti tidak ada kecerahan dalam hidupnya, detik ini hingga seterusnya. Saat ijab qabul tadi, hati Jana seperti diremas. Melihat ekspresi wajah Papah yang terlihat amat puas, bahagia. Setelah itu pun, bahu Jana dipegang erat olehnya lalu berbisik tegas. "Bahagia bersama mereka, Jan."

Maksudnya apa? Menjual Jana hanya untuk perusahaan?!

Apa sih yang berputar dalam pemikiran Papah. Selain uang, uang dan keselamatan perusahaan. Abai terhadap keluarga bahkan rela saat masa depan anaknya sendiri dijadikan tumbal.

Suara pintu berdecit membuyarkan keheranan pada Papah. Jana masuk perlahan, berbalik arah maksud ingin merapatkan pintu. Takut ada yang dengar atau lihat sikap Jana pada Gema. Sejujurnya, lelaki itu baik. Tampangnya sulit diposisikan sebagai antagonis.

"Jan, lo bisa taro pakaian di lemari gue."

Perkataan Gema dengan seulas senyum hanya dibalas tatapan datar.
Tarikan pada bibir itu kembali semula, membuat diam-diam Jana bersorak senang. Sungguh dia benci pernikahan konyol ini, apalagi ekspresi senyum dari lelaki itu.

Gema berdehem. "Gue mau keluar dulu," wajahnya menyiratkan tak enak hati.

Setelah tidak di kamar, Gema menarik napas kemudian membuang perlahan. Menutup mata dengan perasaan resah. Jana jelas menolaknya.  Langkah kaki menuju gazebo taman, beberapa kali menyapa pembantu dan tukang kebun yang tengah mengurus tanaman bonsai Ibu.

Pikiran Gema balik teringat raut datar nan tak berminat Jana. Sebenarnya dia kenapa. Dengan terang-terangan menerima nikah tapi gerak-gerik tak suka dikobarkan. Ketika jemari Gema masih bertengger pada dahi guna memijat kepala ponselnya bergetar.

"Gimana, Ge?"

Senyum kecut terpasang. "Ya, gitu."

Qorni masih belum puas dengan jawaban itu lantas berdecak kesal. "Gitu gimana? Tolong yang jelas."

"Udah jelas tadi."

"Matamu!Gimana woy. Gue kepo."

"Baik, kok. Doain aja."

"Ya, doa sih pasti," diseberang Qorni terdiam. "Lo harus punya pendirian."

Kepala Gema terangkat sedikit, memperhatikan awan yang bergumpalan dengan warna biru yang menenangkan mata. Sebagai penutup telepon dia bersuara. "Iya."

::


Jana sangat gugup, pembantu keluarga ini sudah pergi setelah memberitahu bahwa akan ada makan malam bersama. Di depan kaca, raut kaku terpampang jelas. Pastinya gugup melanda. Wajar sebab ini pertama kalinya Jana berkumpul dekat dengan mertua, mana lelaki itu belum terlihat batang hidungnya.

Seusai shalat isya Jana tadinya berencana ingin membuka buku kemudian terlelap dalam-dalam berharap tidak bangun lagi. Namun, di sisi lain Jana cukup sadar hidupnya masih berlumur dosa.

Derit pintu berhasil mengalihkan perhatian, melihat Gema Ia langsung bangkit diri. "Di suruh makan malam."

Lelaki itu masih terdiam, beku, lebih tepatnya terkesiap. Pertama kali menatap perempuan tanpa kerudung dengan status halal. Rahang kokoh serta mata tajam yang kini menelisik itu tidak membuyarkan pandangan. Baru saat Jana mengeluarkan namanya dengan nada tinggi, Gema tersadar.

Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang