• Tiga puluh tiga

5.6K 317 5
                                    

Dengan kaki gemetar Jana melangkah, dia harus pergi. Logikanya masih berjalan, walaupun keinginan menyelamatkan Gema masih ada tapi anak ini jadi alasan dia untuk pergi, walaupun hatinya terus gusar memikirkan Gema.

Terseok Dia merasakan sakit, Jana tak bergitu mengerti perihal pembukaan berapa dia hanya tau jika sebelum melahirkan pasti ada tahap pembukaan jalur lahir. Berusaha mati-matian untuk tidak berteriak bukan hal mudah, lihat saja bibirnya sudah berdarah. Menjadi saksi betapa nyeri proses melahirkan.

Bukan harapannya begini, Jana ingin melahirkan normal di rumah sakit didampingi ayah bayi ini. Tidak begini alurnya, menjadi korban penyanderaan oleh para orang gila. Hatinya tak terima melihat Gema dicium oleh adik-adiknya membuat hati Jana tercubit. Dia cemburu! Perempuan bisa menyembunyikan rasa Cinta tapi tidak dengan cemburu.

Pertengkaran sebelum ini menambah bukti kuat perasaan Gema hanya sebatas tanggungjawab bukan sungguhan. Ah, Cinta memang mengerikan. Padahal hanya sembilan bulan tapi Jana merasa sudah mencintai penuh. Dia terlalu terbuai. Padahal bukti Cinta melalui perilaku menghadapi badai masalah yang pasti menerpa. Kubur dalam-dalam apa meneruskan rasa ini?

Ingatan Jana terlempar ke insiden apartemen Nisa dan perlakuan Gema minggu-minggu terakhir. Mereka tidak sehat, jarak terlalu jauh.

Dalam hening hampir senja Jana menemukan titik kesimpulan bahwa Gema hanya sebatas tanggungjawab. Hanya itu.

Namun Gema juga yang jadi kesatria bagi nasib Jana, menolong dari pernikahan beda usia itu. Jana tidak mengomentari bahwa nikah beda usia adalah buruk. Tidak! Tapi akan jadi canggung jika Om Ridwan bersikap seperti suami, Jana menganggap dia sebagai paman. Tidak lebih.

Gema pun tidak buruk memperlakukan Jana, lantas bagaimana ini. Dia bingung sekali.

Perempuan itu mengigit bibir kuat, mendesah perlahan kemudian berhembus teratur. Melupakan sejenak kericuhan pikiran untuk memfokuskan diri agar anaknya bisa lahir.

Ya Allah selamatkan anak ini. Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui hambaMu.

Ternyata langkah kecil nan lambat itu hanya mengantarkan Jana pada sebuah jalan sepi namun lebar, bisa ditebak jalan ini penghubung ke daerah kota. Tidak ada siapapun dan apapun.

Dengan paksaan Jana berdiri membuat sesuatu terjatuh dari kantong daster yang sempat Nisa pakaikan. Kondisi sepi begini agak menguntungkan Jana, sebab dia tidak pakai kerudung.

Ponsel!

Dia membungkuk, bikin terduduk lemas. Otaknya lupa bahwa ada bulatan besar bersarang pada perut. Mencoba membuka cepat dia merutuki Gema tidak memberitahu passwordnya.

Tanggal lahir Gema.

Bukan!

Tanggal lahir Jana.

Bukan!

Tanggal pernikahan.

Bukan!

Jana mendesah frustasi, dia terdiam seraya mengusap perut. Berkali-kali sakit mendera, Jana merasai sesuatu di perut bagian bawah dan itu bukan pertanda baik. Semakin menurun saja, artinya pembukaan semakin banyak.

Calm down, Jan.

Dihirupnya udara, sesekali bernapas teratur. Hampir mengedan tapi harus ditahan.

Sesuatu berkaitan dengan Gema. Lahir sudah, pernikahan sudah, lahir istrinya pun sudah. Lantas apalagi dengan tanggal. Jana buntu! Airmatanya mengalir deras, sakit ini bertambah.

"22.12.2022 that's amazing right?"

"Apa itu?" kenyit Jana memperhatikan tulisan di post-it Gema pada lemari baju.

Bibir lelaki itu tersinggung senyum. "I plan, we will have a house with many things that we want inside it. Like cats, fish and pretty plants. Also our kids."

"Wow! Looks marvelous."

Langsung Jana mengetik tanggal itu, airmata sedih bercampur sakit membuatnya kesulitan bernapas.

Angka terakhir diketik dan yup!

Right. She is crying.

Dalam lubuk terdalam Jana bertanya-tanya apakah Gema itu adalah iklim. Bisa diprediksi sebagai pegangan bukan kenyataan. Sebab Gema itu bisa bersikap layaknya seorang yang memuja Jana mati-matian. Tapi mengingat perilakunya bikin Jana langsung jatuh.

Tak lama mobil hitam terlihat dan berenti dihadapan Jana.

Perempuan itu hanya diam dengan tatapan kosong.

"Sayang!"

Prasetyo memeluknya tanpa jarak, seperti kekhawatiran akan Renjana Calista ini. Tidak boleh siapapun menyakiti anaknya. Sekalipun Gema!

"Papah, Gema. ..." mohon Jana lirih kesadarannya menipis.

Panik. Praetyo langsung membawanya masuk, Jana protes dalam baringan ini.

"Gema ada disini, Pah. Selamatkan dia."

Dan Prasetyo tidak perduli.

::

"Terimakasih, saya pergi dulu."

Harja memandang tak percaya, mereka berhadapan di luar sedangkan Jana masih di mobil.

"Gema gimana?"

Dengan nada dingin dijawab, "itu urusan anda."

Rahang Harja mengeras. "Egois! Mereka masih su-"

"Disini saya salah, setuju dengan usulan kalian. Terserah apa yang Anda lakukan setelah ini yang pasti Saya akan menjauhi kalian."

"Prasetyo! Mereka saling mencintai."

Papah Jana itu mengibaskan tangan sebelum masuk mobil, "Apa arti Cinta jika saling menyakiti."

Tidak merespon Harja tau itu kalimat ganda sebagai ungkapan kekecewaan dan sindiran. Tidak ingin memperpanjang masalah dia berjalan menuju bangunan tua itu, sifat Prasetyo itu emosian.

"Papah, Gema," kalimat lirih seiring ringisan terlontar dari mulut Jana membuat Prasetyo menatap tajam.

"Diem!"

Jana hampir menangis. "Papah, please."

"Kamu nggak bahagia 'kan? Nyiksa diri aja terus! Pisah kamu sama Gema."

Sontak Jana tersentak. "Pah! Apa-apaan sih."

Pria itu mengangkat tangan, mulai menjalankan mobil dengan kecepatan tinggi. "Tidak ada bantahan dan tolong fokus pada anak kamu saja sekarang."

"Papah!"

"Renjana!"

Seseorang disamping Prasetyo meringis, perdebatan antara anak dan ayah ini tidak diwaktu yang tepat.

"Jana sudah, kamu diam saja dan Bapak jangan emosi. Anda sedang menyetir bukan nonton acara cak lontong."

Entah bagaimana Gumilar ingat pada tayangan televisi itu yang sukses membuat bos besarnya ini berteriak kesal.

"Berisik!" kata Prasetyo dan Jana bersamaan.

Gumilar mendengus pelan.

Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang