Bangunan tua itu nampak menyeramkan, suasana pagi buta begini menambah hawa dingin menusuk khas pedesaan tidak membuat kedua pria itu patah arang.
Oksigen dikeluarkan Harja, dia geleng kepala. Tingkah istrinya memang diluar dugaan, bersikap diam ternyata tidak cukup. Terakhir meninggalkan rumah, Ayu tidak ada gelagat aneh dan sepanjang tatap muka Ayu menunjukkan senyum tanpa cela.
Hanya pernikahan dengan Rianti yang tidak dibeberkan, apa dia sudah mengetahui? Harja terdiam. Dia tidak membiarkan istri keduanya ini menderita oleh Ayu. Selama lima tahun ini Ayu tidak mengganggu, dia bahkan tau kalau perasaan Harja masih mencintai Ayu. Cinta dalam kata lain, bukan sebagai suami istri melainkan sahabat.
Jika bercerai malah akan bertambah parah, obsesi Ayu terhadap Harja menggunung. Wanita itu bergonta-ganti keseriusan dan kesenangan.
Mendengar dari Prasetyo dia memakai narkotika sontak membuat Harja marah bukan kepalang hingga memutuskan perasaan hampir menjelma jadi Cinta itu.
Ditambah ingin punya cucu agar tak sepi. Alasan konyol! Bisa apa Harja? Daripada Ayu kumat dan berpaling kearah obat haram lagi lebih baik dituruti. Bekerja sama dalam bisnis dengan Prasetyo, mantan musuh merangkap jadi sahabat juga tidak seburuk dipikirkan.
Harja memang bersikap cuek pada anak-anak, tapi bukan berarti lepas tangan. Apalagi dengan Gema, segala usaha dilakukan agar anak sulungnya itu bisa menurunkan tampuk kepemimpinan dua perusahaan yang tengah dikelola. Mendengar anak dikandung Jana lelaki bikin Harja senang.
Terdengar semua baik-baik saja, bukan?
Ternyata salah. Kedatangan Prasetyo menjelaskan lubang dalam strateginya.
"Harja," panggil Prasetyo dengan mata tetap mengarah pada bangunan itu.
"Apa?"
"Selamatkan Jana," mohonnya.
Harja tertegun, dia menoleh memperhatikan Prasetyo dengan aneh sekaligus bingung. Nada ini seperti sebuah kecemasan. Tidak pernah dipakai Prasetyo. Dan tanpa disuruh pun Harja melindungi menantu pertamanya itu.
Dilangkahkan kaki nya menuju mobil, tanpa menoleh sedikitpun. "Ayo."
Pria berstatus Papah Jana itu mengangguk dan ikut menyusul.
::
"Gausah gila, Nis!"
Dihadapannya itu tidak terganggu. Nisa mengibaskan tangan tak perduli. "Ngapain bohong? Aku emang Cinta abang."
"Kita satu darah," kata Gema dengan penuh keyakinan, menelisik mata yang sama itu. Memohon sambil menyadarkan adiknya ini.
Sesaat Nisa ikut merasakan kegetiran, dia juga tak pernah membayangkan berada disituasi semacam ini. Ini salah, dia tau. Tapi debaran jantung hanya ada saat di samping Gema juga perasaan berbunga-bunga jauh memastikan perasaan ini bukan sekedar adik. Pubertas Nisa pun dengan Gema.
Entah bagaimana semakin mengikat hingga umurnya sekarang.
"Abang ngga bisa. Hapus, Nis. Kamu bukan orang jahat cuma terjerembab dilubang salah. Jangan gini, apa tega bikin Ka Jana menderita gitu? Dia lagi hamil, Nis. Kalo mau bunuh, lakuin ke Abang jangan ke Jana," ujar Gema sambil menunduk dalam, kilasan perlakuan buruk membuatnya pantas untuk mati. Bahkan Jana tengah hamil! Gema tidak bosan menggumamkan kalimat itu, mencerminkan betapa brengseknya dia.
Bayangan siluet tubuh membuat Gema mengangkat dagu, Nisa kembali berpakaian rapih. Di wajah telah ada aliran kecil airmata, dia berjongkok. Mengusap lembut pipi Gema.
Lelaki yang paling jadi pahlawan semasa pubertas, berlindung dari orang-orang jahat yang hampir berbuat biadab. Semua terasa tamparan bagi Nisa untuk sadar, apalagi menangkap sorot penuh luka milik lelaki hebat ini. Empatinya terpanggil, dia tidak mabuk sekarang jadi sangat tau apa yang dilakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akrasia |✔|
SpiritualGema dan Jana terikat oleh pernikahan. Rencana masa depan harus terpupus, menikah itu seperti pergi ke tempat baru. Berkenalan dengan lingkungan Gema, menghadapi karakter orang. Segalanya terasa sulit, semesta memang paling bisa membuat manusia leb...