• Tiga belas

5.2K 372 5
                                    

Amico menggeliat pelan, pagi-pagi sudah bertandang. Jana yang tak sengaja lewat halaman dan melihatnya kontan langsung beralih perhatian, dengan penuh semangat menggendong kucing itu.

Tak terasa sudah setengah jam berlalu, suara Ibu terdengar. "Jana, ayo sarapan."

Dengan hati-hati diturunkannya kucing gembul itu.

Masuk ke ruang makan begini membuat Gema menoleh kearah Jana. Sehari tadi mencari keberadaannya. "Kamu dari mana?"

Perempuan itu menoleh dan tersenyum. "Amico."

Mau tak mau Gema mengusap kepalanya.

"Ehem. Pagi-pagi sarapan nasduk bukan ngeliat orang pacaran begini dong. Jiwa kejombloan Putri keluar."

Putri terkekeh pelan. "Lo aja kali. Gue biasa."

"Ya 'kan lo udah ada Alden," godanya sambil menaik turunkan alis.

Gema mengernyit. "Alden siapa?"

Nisa mendekati Abangnya, berbisik sesekali menatap Putri yang melotot ingin memakan kembarannya.

Kepala Gema menggeleng. Putri langsung menjitak kepala Nisa dengan ganas. "Laknat lo sama kakak."

"Tujuan gue menghibur aja sih, pagi-pagi bikin lo emosi seru juga."

Sebelum keributan terjadi Gema menyela obrolan mereka. "Wakil ketua osis itu, Put?"

Jana sedari tadi hanya memperhatikan interaksi adik-kakak itu angkat bicara. "Waketos? SMA mana?"

"Flamboyan. Kamu tau 'kan?" Gema menoleh dan mengambil piring berisi nasi goreng yang telah diambilkan oleh Jana.

"Kenal. Oh jadi diem-diem udah punya calon. Hmm, Alden."

Wajah Putri sudah merona, dia menunduk menyembunyikan raut malu.

"Ciee," Nisa meledek. Diikuti pasangan itu.

"Astagfirullah. Nggak, Putri sama Alden nggak ada apa-apa."

"Nggak ada apa-apa? Emang kita tanya hubungan kalian, ya?" Jana tertawa geli.

Putri semakin tak bisa menahan senyum. Dia mengelak dengan terbata. "I-ih maksudnya ya-"

"Abang nggak bolehin pacaran, Putri juga tau kenapa alasannya. Asal jangan baper sama Alden. Inget."

"Iya."

Ibu datang, tangannya masih merapihkan baju gamis dan kerudung. Tak lama Bapak juga hadir tidak seperti suasana tadi sekarang malah terjadi diam-diam kental suasana serius.

Jana tak bisa membayangkan bagaimana mereka menjalani keluarga seperti ini, dirumah memang Jana pun tidak baik dengan Papah namun kehadiran Najla yang memang ceria ditambah Mamah juga sering melempar tawa membuat Papah juga sering kali ikut nimbrung.

Makanya sebenci apapun Jana tetap rasa sayangnya tak terhitung. Jadi rindu suasana rumah.

"Makan katuk ya, Jan. Ibu mau pergi dulu nanti kita mulai senam."

Jana sesaat diam detik kemudian mengangguk pelan. Punggung tangannya merasakan usapan lembut, kepala Jana menoleh dan mengulas senyum tenang.

Seperti tau perasaan Jana, lelaki itu hanya bisa pasrah. Membalas pun tak berguna sifat Ibunya yang harus dituruti membuat Gema gerah bukan main. Ditambah Bapak masih disini, pagi pula Gema tak ingin ada keributan. Terutama jika telinga Jana mendengar. Biar dia fokus pada kandungan saja jangan hal lain.

Dengan kunyahan gamang, Jana memasukkan dua sendok sayur hijau. Menelan hingga tandas kemudian mendesah dalam hati, dia eneg banget. Sudah lebih dari seminggu selalu sarapan katuk. Dia menahan rasa bosan, pokoknya nanti mau peluk Gema.

Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang