Kenyataannya Papah tidak bereaksi apapun selain menyuruh untuk patuh. Karena tanggungjawab berganti dengan Gema, suaminya.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Jana telah melakukan hubungan bersama Gema, dengan rasa aneh. Tidak ada sahutan serta tanda-tanda akan damai. Benar-benar datar, Jana pasrah tidak membantah. Namun, fisik perempuan itu lebih memberikan sinyal lebih.
Cekungan hitam bawah kelopak, netra cokelatnya selalu kosong serta lebih menghabiskan waktu untuk melamun. Gema paham kondisi tersebut hanya bisa menghela napas dan tidak berbuat lebih. Tidak sekalipun dalam pikirannya Jana akan memberikan tanggapan diluar dugaan.
Celotehan Nisa dan Putri mengalir, perbincangan hangat melibatkan orangtua Gema juga seakan menambah seru suansana sekarang. Istrinya itu ternyata pandai berakting, saat di hadapan keluarga dia akan bersikap biasa bahkan menjadi perempuan penurut dan lembut. Sangat kontradiksi jika bersama Gema, jangankan bersuara melihat muka saja enggan.
Usaha Gema untuk membentuk suatu hubungan tidak dianggap olehnya. Kini lelaki itu akan mengikuti alur saja, kapok memikirkannya terus. Nilai semester menjadi anjlok dan konsentrasi Gema buyar.
Usai makan malam, keduanya merasakan sensasi aneh. Jana lebih dulu memulai, bibirnya digigit keras. Kedua kaki di goyang kanan-kiri, sesuatu membuncah. Otaknya agak pening tapi keinginan kuat dalam diri mengarahkan langkah Jana kearah Gema yang kini mulai ikut terhanyut, tubuh lelaki itu bersandar pada pintu.
Ketukan pintu membuat keduanya tersentak, Gema dengan tubuh sekuat tenaga menekan kabut gairah.
Dapat dirasai geleyar semakin liar, Gema menggeleng cepat, tepis angan-angan tak pantas. Gema terkesiap menemukan Jana berada di hadapannya. Wajah perempuan itu memerah, bibir ranum itu dihisap kecang oleh sang empunya.
Perlahan tangan Gema menyentuh pipi halus itu, tidak lebih. Jana sudah melepaskan rasa malunya mengawali dengan pelukan.
Pelukan yang lama kelamaan semakin intens dan berubah menjadi kegiatan privasi.
::
"Jana," Panggil Ibu dari luar. Perempuan yang tengah membaca buku langsung bergegas membuka.
Tangan Ibu membawa sesuatu, sumringah terpancar dari wajah yang hampir tua itu. Tanpa permisi dia masuk kemudian memperlihatkan satu-satunya barang yang dibawa. Jana hanya tersenyum tipis.
"Bagus kan?"
"Iya, bagus."
Setelah asyik menatap empat pasang baju daster berbeda warna Ibu memandang Jana sebentar, mendekat dan mengusap perut datarnya. "Sudah isi belum?"
Seraya menahan sesak, Jana menjawab pelan. "Belum."
Ibu nampak kecewa, detik selanjutnya mengulas senyum. "Ntar coba lagi. Harus sering ya, Jan."
Sering? Jana bertanya dalam hati. Dia tentu tau maksud wanita, kepalanya tidak mengiyakan tidak menolak juga. Rasa enggan masih menyusup masuk, Jana tau dan sadar kelakuannya sudah dapat dikatakan durhaka kepada suami. Namun, Jana tidak bisa menerima kenyataan ini. Jujur!
Daster berbahan sejuk itu berpindah ke lemari. Sejenak Jana berdiri menghadap cermin, menelisik diri sendiri. Perempuan yang dulunya bebas kini terkurung, mengasingkan diri dalam kamar sudah satu bulan lebih. Mata Jana terpusat pada perut, apakah ia siap hamil? Menjadi seorang Ibu.
Pintu terbuka kini ditangan mertuanya bukan lagi baju melainkan gelas berisi air berwarna cokelat, mencium aromanya Jana tau itu adalah jamu.
"Jana, nanti harus banyak makan sehat. Sayur hijau, salmon sama toge," Ibu terkikik geli. "Biar cepat hamil." setelah Ibu pergi Jana merapihkan baju tadi, sebenarnya ingin memastikan beberapa baju yang dibawanya lengkap. Apalagi baju tidur kesayangannya.
Sebuah plastik bening berisi kotak persegi panjang ukuran sedang berada di paling tumpukan baju, saat diambil mata Jana kontan melebar dan mengusap lembut. Pikirannya bekerja, ini adalah pembatas buku.
Lucu. Terbuat dari resin dengan hiasan seperti glitter emas. Mata Jana membaca note dibelakang plastik.
Sorry.
-GemaPergerakan perempuan itu menjadi terhenti, dia menempelkan punggung ke lemari. Masih terpaku pada pembatas buku, mencoba mengingat sikapnya terhadap Gema. Menatap sinis, tidak menjawab dan tidak mengurusi lelaki itu. Pernah saat Gema meminta tolong ambilkan buku karena dia sudah mengenakan sepatu jadi akan ribet jika membukanya untuk masuk ke rumah saat itu Jana mengangkat bahu acuh.
Tapi dia emang salah. Kenapa gak nolak?
Jana mengangguk setuju, Gema pantas mendapatkan.-
KAMU SEDANG MEMBACA
Akrasia |✔|
SpiritualGema dan Jana terikat oleh pernikahan. Rencana masa depan harus terpupus, menikah itu seperti pergi ke tempat baru. Berkenalan dengan lingkungan Gema, menghadapi karakter orang. Segalanya terasa sulit, semesta memang paling bisa membuat manusia leb...