Bibir Jana melengkung kebawah. Dia memandangi langit cerah dengan hati kelabu. Perkataan Nisa masih terngiang jelas.
Benar, Gema bosan. Padahal Jana sudah memberikan pelayanan sepenuh hati. Perubahan demi perubahan apakah tidak cukup? Andai Gema tau, merubah sifat tidak semudah membuat mie instan, harus konsisten agar hasilnya permanen. Bersikap lembut, manis dia juga usahakan. Apalagi sebenarnya itu bukan sikap Jana, dia terbiasa untuk cuek. Tapi sekarang orientasinya bukan kehidupan remaja atau Cinta monyet, sekarang punya suami. Jana berjanji melakukan terbaik. Kurang ya?
Hembusan angin merusak tatanan kerudung, tapi berhasil memperbaiki suasana hatinya sekarang. Sudah lama tidak menikmati senja, jika ada Kinan pasti akan mengejeknya sebagai anak indie. Jana tidak keberatan, memang suasana sore hari sangat tenang.
"Ngapain? Ngga dingin?"
Tersentak kaget Jana menoleh kebelakang, menatap Gema baru pulang lengkap seragam sekolah awalannya dengan pandangan kaget selanjutnya dengan datar. Malas.
Sebab jalan sama Nisa membuatnya tidak lagi bosan. Bukan dikamar saja, dengan Jana. Pasti dia jemu.
Tak boleh cemburu pada adik iparnya, mereka hanya hubungan adik. Dan Jana lebih. Perasaan perempuan memang sulit dikontrol, rasanya ingin menegaskan ya mereka adik-kakak jadi tak perlu cemburu. Hati berkata lain, jika Gema memang bosan kenapa tidak mengajak Jana keluar saja? Karena hamil? Jadi tak cantik lagi. Yang hamilin siapa coba!
Katanya akan belajar mencintai? Tapi baru bosan langsung mencari pelarian lain. Apa bedanya dengan lelaki lainnya. Kalimat semua laki-laki sama saja benar tidak sih.
Jana rasa benar.
Respon negatif sangat Gema rasai, dia melepaskan seragam. Semua tak terkecuali celananya. Tersisa kaus dalam dan boxer saja. Dia mendekat, bergabung di samping Jana.
Wajah datar yang sempat menjadi makanan sehari-hari muncul lagi.
"Ada apa?"
Dengan langsung Jana menjawab. "Nggak."
Justru jawaban lugas itu Gema semakin harus menyediakan stok sabar dan menggali perempuan ini. "Gema ada salah?" tembaknya tepat.
"Nggak."
Sesaat hening. Keduannya fokus pada pikiran masing-masing ditemani angin sore yang sangat menyenangkan.
Tiba-tiba Gema berujar, membuat Jana terdiam. Menunduk.
"Kalo ngga jujur, selamanya jadi masalah. Hidup berdampingan sama masalah itu nggak enak. Biar nggak salah paham dan jangan sampai Gema tau dari oranglain. Boleh ya. Sekali lagi, Gema tanya. Kenapa marah?"
"Aku ngga marah!" deliknya tajam.
Senyum Gema terlalu lebar hingga menampilkan deret gigi depan. "Oke, oke. Kenapa ngambek?" tanyanya mencoba kata lain. Padahal jelas Jana barusan marah. Ingatkan dirinya untuk menjaga perasaan bumil ini.
Sekarang terdengar decak kesal. "Aku ngga ngambek!"
Gema memfokuskan pandangannya pada Jana. "Kenapa kamu kesal?"
Akhirnya perempuan itu menunduk. Nampak sulit mengutarakan. Gema biarkan hingga pandangan mata itu terangkat.
"Jana bikin Gema bosen?"
Gema mengerut bingung. "Bosen? Bosen kenapa?"
Perempuan itu memilih menatap lurus ke depan. Menceritakan kejadian tadi siang. Tidak boleh merahasiakan apapun. "Kata Nisa kalian ke mall pengen nonton soalnya Gema sumpek di rumah."
Gema diliputi kebingungan. "Nisa ngomong begitu?"
Kepala Jana naik turun.
Sebentar Gema bungkam. Kemudian mengusap wajahnya. "Sama sekali Gema ngga bosen."
"Bohong," tuduh Jana sudah cemberut siap menangis.
Perubahan sikap Jana memang sangat drastis. Saat awal Gema kaget, apalagi sebelum hamil Jana paling tidak suka menangis. Kini? Untuk hal kecil saja dia menitikkan airmata.
"Beneran, sayang. Tuh kan sekarang Gema berani bilang sayang, appreciate dong."
Jana menoleh dengan wajah kesal. "Iya emang, sekarang berani. Anda siapa berani bilang sayang?" tajamnya.
Gema terkekeh pelan, menatap dengan wajah serius. Mendalami akting. "Saya suami selamanya Renjana Calista. Mungkin Ibu lupa?"
Jana mengangguk setuju, memegang kepalanya sebentar. "Iya saya lupa. Amnesia, suami saya bukannya Prince Mateen ya?"
Gema menatap datar. "Siapa Prince Mateen?"
Jana melongo sekejap, masa suaminya tidak tau Prince Mateen. Ide terbersit di otaknya, dengan berdehem Jana menjawab. "Pacar aku."
Wajah serius Jana membuat Gema mendekat, merangkul dan menatap lekat. "Serius, Jan. Nggak boleh pacaran. Inget kamu punya suami."
Tawa Jana menguar.
"Jana, jangan ketawa. Dibilangin juga," tegas Gema pertama kali.
Justru pemandangan di depannya membuat Jana tak bisa menahan diri mencubit kedua pipi itu, menggoyangkan beberapa kali hingga Gema harus menepisnya. Lelaki masih kesal itu melenggang pergi.
Siapa sih Prince Mateen sok banget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akrasia |✔|
SpiritualGema dan Jana terikat oleh pernikahan. Rencana masa depan harus terpupus, menikah itu seperti pergi ke tempat baru. Berkenalan dengan lingkungan Gema, menghadapi karakter orang. Segalanya terasa sulit, semesta memang paling bisa membuat manusia leb...
