• Dua puluh sembilan

4.8K 299 2
                                    

Kelopak mata Jana mengerjap beberapa kali, sinar terang seakan menghalau pengelihatan. Seluruh tubuhnya kaku, rasa sakit membuatnya mengernyit dan paling parah dia tidak bisa menggerakkan tubuh. Seperti dipaku seluruh tubuh. Sesak!

Tunggu, dua orang itu.  ...  Jana berusaha fokuskan mata dan yap! Hening. Menyergap menjadi sebuah keheranan, takut serta masih belum percaya.

"Sudah bagun rupanya menantu cantik ku," nada manis seiring usapan lembut dari telunjuk itu menyadarkan Jana bahwa itu benar-benar Ibu. Wanita yang kemarin masih Jana lihat di rumah. Bedanya sekarang dia tersenyum sinis. Bukan pertanda baik.

Jana menoleh kanan-kiri, tangan dan kaki diikat pada ujung ranjang besi ini. Jana langsung panik, dia berontak melepaskan diri, benar'kan ini sebuah rencana. Bukan terlepas malah sakit dirasa, gesekan tambang menimbulkan lecet. Bukankah dia harusnya bangun di rumah Mamah, kenapa ke sini? Putri! Dimana dia. Apakah mereka yang mencelakai adik iparnya itu? Serentetan prediksi membuat Jana tak sadar.

Suara tawa keduanya membuat Jana mendesis marah, rasanya ingin menjambak mereka. Sabar, sabar.

"Gila!"

Plakk!

Kulit mulus Jana berubah merah, pipi kanan itu menjadi sasaran si gila itu. Beberapa kali anaknya menendang, oh ya, Jana lupa. Dia bukan lagi sendiri. Apa yang akan dilakukan mereka, tidak mengapa jika hanya Jana tapi jangan anaknya. Dia menyesal berkata kasar tadi, jangan sampai mereka emosi lalu menyakiti anaknya ini.

"Gimana? Kaget ngga?"

Kini perempuan satu lagi berujar tenang, jemarinya bergerak memutar diatas perut buncit Jana. Dia tersenyum penuh arti. Otomatis Jana gemetar ketakutan. Perempuan ini jauh lebih agresif.

"Lepasin saya!"

"Uluh, uluh. Mau pulang iya? Kita lepasin aja deh, Nis."

Adik iparnya itu memandang pura-pura sedih, tiba-tiba menampar Jana dua kali. Menyebabkan pipinya tambah memerah.

Sakit. Perih. Airmata sudah turun, ditambah perutnya sakit. Kontraksi. Jangan sekarang nak. Tidak tepat.

Sudah bisa dirasakan betapa sulitnya jalan hidup ini. Entah bagaimana nasib Jana esok hari. Dia hanya berharap anaknya selamat.

Nisa mendekat, mengelus pipi Jana dengan lembut namun detik selanjutnya menjadi menyakitkan.

"Hadiah kemarin lo mau rusak rencana gue."

Goresan pisau kecil itu berhasil menembus kulit hingga mengucur darah. Jana meringis menahan sakit, dia harus tenang. Jika orang gila ini dilawan keselamatan anaknya dipertaruhkan.

Ibu berdiri disamping Jana yang terbaring ikat itu dengan senyum iblis. Dia benar-benar menyimpan dendam dengan anak Prasetyo ini. Seluruh rahasia sudah terbongkar, suaminya berubah karena itu dan semua karena ayah menantu cantiknya ini. Hah! Keparat kau Prasetyo!

Langsung dia lepas seluruh ikatan hingga Jana bisa lega sebentar, kini dia terduduk sila.

"AH!"

Teriak Jana otomatis, sesuatu melukai punggung telanjangnya.

Saat melihat benda itu, Jana langsung melotot kaget serta takut. Dia beringsut mundur.

"Jangan takut sayangku," rayu Ibu dengan nada menyeramkan.

Ya Allah bawa Jana pergi. Dia sangat khawatir anaknya tidak selamat. Sedangkan Nisa hanya cekikikan sambil memegang sebuah silet.

Terlambat.
Semua terjadi.

Satu.

Dua.

Tiga.

Dan seterusnya.



::


"Pah," gusar Arini sambil menghadapi suaminya. Dia masih belum tidur di jam dua pagi ini, sehabis sembahyang ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.

"Hmm."

Tidak mendapatkan sahutan serius Arini menggoyang-goyangkan bahu Prasetyo sambil merengek. "Papah."

Sudah melek Prasetyo menghela napas. "Apa Mah?"
Pegal-pegal sehabis latihan bela diri kemarin masih terasa.

"Perasaanku nggak enak," ungkap Arini sambil masuk ke dekapan suaminya dengan harapan tenang. Aneh, tidak biasanya dia bangun shalat tahajud lalu tidak bisa menutup mata lagi.

Dari sore tadi seperti punya insting tidak enak aja. Sebenarnya tidak ingin diberitahukan Prasetyo tapi sudah menghantui sampai malam begini bagaimana Arini tidak frustasi.

"Kenapa?"

Dengan kesal Arini memukul bahu pria itu. "Mana ku tau! Kamu tuh ya."

"Maksudnya, kamu kepikiran siapa gak enak gitu."

Arini mendongak, menatap manik Prasetyo dengan perasaan cemas. Makin lama semakin meninggi. Seperti ada dua batu besar menghimpit dada. Sesak. Airmata tidak sengaja menitik. "Anak-anak."

Sontak Prasetyo mengerutkan dahi. Perasaan seorang Ibu tidak boleh diabaikan, berkaca pada pengalaman sepuluh tahun lalu dia tak acuh kekhawatiran Arini pada Najla yang tengah camping. Selang beberapa jam Prasetyo dikabari pihak sekolah bahwa Najla tersesat di hutan. Benar-benar hutan, dari situ dia percaya insting Ibu bisa dipercaya.

Anak-anaknya hanya dua.

Najla dan Renjana.

Entah mana yang mengalami kejadian buruk, Prasetyo ikut diam. Jika dia bersikap sama khawatir dengan wanita lembut disampingnya ini semua akan rumit.

Diusap kepala Arini menenangkan. "Jangan suudzon dulu. Mendingan tidur, besok Aku cek mereka."

"Sekarang bisa, Mas?" tawar Arini sudah banjir airmata. Tidak karuan. Sesak semakin kuat. Dia merasa ada hal buruk menimpa salah satunya.

Menyaksikan kondisi Arini akhirnya Prasetyo menyetujui dan menelpon Najla. Butuh tiga kali hingga terangkat, anak sulungnya itu pasti baru bangun.

"Wa'alaikumsalam, kenapa, Pah?" seraknya.

"Kamu baik-baik aja?" tanya Papah langsung. Arini di sisinya menatap khawatir. Hatinya dag-dig-dug bukan main. Sifat dan sikap ceroboh Najla membuatnya cukup takut.

"Hah?!" teriak Najla.

Prasetyo menepuk dahi. Anaknya ini kadang lemot. "Kamu nggak apa-apa 'kan, Kak?"

Terdengar Najla meminta maaf pada seseorang, lalu menjawab. "Ya nggak papa. Aku dirumah, Pah. Semua baik-baik aja."

Kelegaan hadir.
Bukan tenang Arini makin terisak membuat Najla tak sengaja dengar langsung kalut.

"Mamah kenapa, Pah?!"

"Dia ngerasa nggak enak, udah dulu Kak. Maaf Papah ganggu. Kalo mau ke rumah besok aja. Wassalamualaikum."

Tuut. ..

Jika tidak diputus, Najla akan nekat ke rumah. Semua keturunan Prasetyo punya sifat keras kepala dengan kadar masing-masing.

"Jana, Pah, Jana," raung Arini pilu.

Prasetyo terdiam.

Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang