• Tiga puluh satu

5.3K 327 7
                                    

Jana tidak punya tenaga lagi. Digerakkan seakan percuma. Ruangan kecil dan gelap ini sudah jadi tempat bagi Jana hampir satu hari.

Kontraksi dari perutnya semakin terasa, mungkin sebentar lagi melahirkan. Dia khawatir bagaimana ujungnya, berharap pada Gema juga tidak bisa. Lelaki itu pergi terlalu jauh.

Dia menatap datar kearah Nisa yang tersenyum manis, tidak menyangka sadisnya adiknya ini. Sebelum melakukan penyiksaan Nisa memberi pilihan, dibelakang atau depan. Awalnya Jana tidak paham setelah melirik cambuk tambang akhirnya dia pilih belakang.

Dua puluh lima menit dia menyiksa, darah sudah berceceran dimana-mana. Jika ditanya Jana tidak pingsan, dia tidak sadarkan diri saat merasa tidak kuat. Jana hanya memikirkan anaknya, jangan meninggal dulu. Biarkan dia melahirkan lalu anaknya ini diasuh Gema.

Betapa indahnya jika melihat pemandangan Gema dan anaknya bermain bersama. Menemukan binar redup dari Gema sebab orangtua lelaki itu renggang membuat Jana bertekad agar bayi ini harus jadi pelengkap Gema menemukan kebahagiaan.

Jauh sebelum perubahan Gema, lelaki itu selalu memperlakukan Jana layaknya putri. Dari alasan menikahi Jana untuk menghindari Om Ridwan saja sudah jadi alasan kuat mengapa anaknya harus lahir.

"Lepas!"

Jana tersentak, dia membola melihat lelaki yang tadi bersarang di pikiran tengah duduk dengan diikat pada kedua tangan.

Pandangan keduanya bertemu, Gema menatapnya layu. Khawatir bercampur penyesalan. Perempuan ini kenapa harus ikut, ketika tak sengaja melihat darah kering Gema berontak lebih kuat.

"Gila! Lepasin istri gue!"

Perempuan disampingnya terkekeh, berjongkok untuk sejajar dengan Gema kemudian mengecup singkat bibirnya.

Gema membuang muka, sulit untuk bergerak. Dia beringsut dekat kearah Jana.

Tiba-tiba suara Ibu menginterupsi. "Biar mereka berduaan dulu, jam tujuh baru kita pisahin."

Raut tak suka langsung dilayangkan Nisa, Ibu lebih dulu memberikan alasan. "Biarin aja lah, sebelum mereka pisah selamanya. Toh Gema buat kamu."

"Oke."

Keduanya pergi.

"Gee," panggil Jana lirih. Sudah banjir airmata.

Lelaki itu bergerak pasti, memperhatikan Jana dengan rasa sakit teramat. Dia lantas mengecup lama-lama kening Jana, walaupun sulit.

Diiringi tangisan Jana, isakan sayup-sayup menyusul.

Untuk segala keperihan yang terasa. Gema merasa bodoh tidak bisa melindungi, bekas luka membuat Gema ingin membunuh diri saja. Mana janjinya yang akan melenyapkan siapa saja yang menyakiti Jana. Mana!

Ditambah lagi. Perempuan ini tengah mengandung. Anaknya. Berapa banyak airmata telah menitik, darah menguar serta rintisan keluar.

"Maaf, sayang. Maaf."

Jana tersenyum tipis, sisa airmata masih ada. "It's okay," katanya berusaha menenangkan rasa bersalah Gema, bukan berefek tenang. Pikiran lelaki itu melayang pada insiden cekik itu. Gema geleng-geleng kepala kuat. Dia menangis.

"Maaf, Jan. Maaf."

Melihat rasa bersalah itu Jana menghela napas. Dia kecewa tapi langsung tertutupi dengan sikap Gema yang sudah kembali. Bagaimanapun jika Gema tidak menikah dengannya Jana bisa-bisa tinggal dengan Om itu.

Teringat sesuatu. Jana menepis rasa ini. Memandang serius.
"Apapun yang terjadi, selamatkan anak kita, Ge. Apapun. Kamu rawat dengan baik. Beri di-"

Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang