• Tiga Puluh Enam [End]

14.6K 431 15
                                    

Jana masih menggengam tangan kecil Arfa, Mamah dan Papah tengah menyiram tanaman di halaman dengan semangat. Setaunya Papah bukan orang yang suka tanaman, pernah saat Jana kecil dengan kesalnya Papah membuang pot bunga Mawar yang jumlahnya sepuluh, sebagai pemilik, Mamah geram bukan kepalang. Nyatanya sekarang? Bahkan pot bunga-bunga memenuhi pojok halaman.

Dari sini juga Jana sadar telah melewatkan banyak hal, semenjak hamil Jana sudah cerita bukan kalau mertuanya itu sangat membatasi geraknya. Ketika dihadapkan situasi ini, Jana tersentak kaget juga haru. Apa terlalu menutup mata padahal kehangatan ada di depan.

"Arfa!" teriak Papah membuat Jana terperanjat, anaknya itu langsung bereaksi gelisah.

Mamah berkacak pinggang dan tanpa basa-basi memukul punggung pria itu dengan sapu lidi hingga membuat Papah melotot sambil meringis.
"Sakit tau."

"Mau bikin Arfa sawan?!"

Papah geleng kepala, melanjutkan siram air. "Nggak lah. Aneh aja."

"Ngapain teriak begitu, udah tua juga. Cucunya sawan nanti."

Pintu pagar berbunyi tanda dibuka, sesaat Jana menyipitkan mata detik kemudian mengendikkan bahu lalu memperbaiki letak Arfa yang miring.

Mata Jana melihat orangtua pergi menuju halaman belakang, katanya ingin mengambil pupuk. Tapi apa harus berdua ngambil pupuknya? Aih, bikin Jana iri saja. Dia tersenyum simpul.

Derit pagar terdengar, juga masuk mobil berwarna silver. Jana mengerutkan dahi, seingatnya baik Najla serta Fadli masih sibuk di rumah sakit baru tadi Jana bercengkrama melalui whatsapp dengan kakaknya jadi tak mungkin tiba-tiba datang. Lantas siapa?

Malas berspekulasi Jana beranjak berdiri, menggendong anaknya dengan perlahan. Mungkin rekan bisnis Papah atau teman Mamah. Sebelum benar-benar menghilang suara familiar mengalun.

"Assalamualaikum."

::

Untuk pertama kalinya, setelah menelan pahit tiga bulan. Memendam kerinduan akan kedua sosok dihadapannya tanpa bermimpi lagi Gema menyapa mereka. Memang belum bercakap intens dengan Jana. Gema ingin memandangi Arfa langsung.

Mata jernih nan sesekali memperhatikan wajah Gema itu menunjukkan ekspresi asing. Suara Jana terangkat. "Ayah itu, Arfa. Assalamualaikum Ayah."

"Wa'alaikumsalam," lirih Gema masih betah mengamati segala gerakan anaknya.

Perjuangan panjang agar Gema dapat izin dari Prasetyo. Mulai dari latihan fisik yang berhasil membawa Gema ke rumah sakit akibat kelelahan. Tantangan bisa berkuda dan menembak serta latihan muai thai membuat Gema harus merelakan tidak mengambil kesempatan SNMPTN atau SBMPTN.

"Kamu kecewa ya, Ge," tanya Jana menebak isi kepala lelaki ini.

"Aku bilang jangan menyimpulkan sendiri, Renjana," jawab Gema pelan. "Arfa baik-baik aja?" dia bertanya tanpa menoleh.

Jana langsung berubah datar. Kesal tidak diperhatikan juga menyinggung perasaan.
"Yaiyalah baik-baik aja, emang aku apain? Nggak percayaan banget."

Langsung Gema menatap Jana. "Bukan gitu, Jan. Astaghfirullah. Udah ah Aku mau gendong Arfa aja. Bantuin," pintanya sambil mengedipkan sebelah mata.

Dengan ogah-ogahan Jana mengangkat tubuh bayi itu. Menurunkan di tangan Gema dengan hati-hati. Menyesuaikan posisinya agar nyaman. Arfa tidak terganggu, dia masih betah melihat ayahnya ini.

Untuk segala kepedihan yang dirasai, masalah dilalui serta perjuangan dihadapi. Gema tak dapat berkutik saat mengusap pipi lembut Arfa, bayinya. Anaknya. Jalan terjal hingga mengundang kebahagiaan, fakta sampai hikmah.

Tak pernah terbayang akan jadi begini. Ibu dan Putri dipenjara atas kasus penculik, pembunuhan serta kekerasan. Sedangkan Nisa telah tenang di sana.

Dengan semua ini Gema banyak ambil pelajaran, terima kasih kepada takdir juga pembuat takdir mengajarkan sesuatu yang tidak ada di buku.

Di usia terbilang muda, Gema tidak tau kedepannya ada kerikil apa. Namun dia berharap keluarga kecilnya ini dilingkupi kebahagiaan.

Gema merasa lubang dalam dadanya menganga, teringat kejahatan dahulu. Berani mencekik hingga berujar ketus, ngidam Jana juga pernah tidak kesampaian. Kini Arfa memandang Gema dengan kebingungan beberapa kali mengerjap dan memasukkan kepalan tangannya.

Gema tidak tahan untuk mengecup kening sang anak, tidak menyangka telah berubah status menjadi seorang Ayah.

"I never imagine to be a young parent. Thank you for choosing to stay by my side. Can I tell you?"

Jana memperhatikan bola mata Gema, seulas senyuman terpatri disana. Tidak menyangka reaksi Gema akan seperti ini.
"My pleasure." jawab Jana menahan senyum. Menggenggam tangan yang akan menemaninya menapaki kehidupan.

"I love you."

End

____________

Allhamdulillah cerita ini selesai juga :)

Maaf banyak kekurangan dalam cerita ini dan terima kasih udah baca ampe kelar.

Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang