• Dua puluh enam

4.2K 319 4
                                    

Beberapa kali mata perempuan itu melirik jam digital pada pergelangan tangan. Berdecak kesal, bergulir pada luar restaurant.

Suasana ramai tidak bikin Jana ikut terhibur, justru semakin kesepian. Dia menghela napas, menyenderkan badan. Gema kemana sih, sudah menunggu tiga puluh menit belum muncul juga batang hidungnya.

Tendangan dari perut Jana membuat dia membuka mata, mengusap beberapa kali.

"Ayah mana ya, dek."

Lagi-lagi menendang.
Seulas senyum terbit.

Seporsi Soto Malang sulit untuk dilewatkan, untuk terakhir kalinya Jana memperhatikan pintu dengan kaca transparan itu. Menyipit memperhatikan wajah orang-orang yang lewat. Lima menit berlalu tak ada muka menyebalkan milik Gema.

Jana mengangkat sendok, menyuapkan kuah soto dengan perasaan dongkol memenuhi hati.

Hari ini mereka ingin berbicara, Jana memulai duluan. Perlu digaris bawahi, Gema mana mau. Tadi aja dirumah masih bungkam.

Lelaki itu memang parah kalo sudah marah, lihat saja sikapnya. Seakan menjauh seperti musuhan walaupun masih sering salaman saat berangkat sekolah tapi mulutnya itu tidak bicara. Jana jadi kesal sendiri.

Terus-menerus berada di situasi seperti itu membuatnya tidak enak, Jana menekan ego bersikap lebih dewasa untuk membuka jalur damai solusinya diskusi yang tengah ditunggu oleh Jana sekarang.

Hingga detik ini Gema belum hadir. Bagaimana Jana tidak geram. Dia sadar pernikahan bukan perkara main-main biarpun perjodohan. Hati Jana nyeri mengingat bahwa mungkin belum ada Cinta dalam pernikahan ini.

Perempuan yang pernah ingin dijodohkan juga begitu sempurna, tapi Gema pernah bilang dia ingin membangun keluarga dengan Jana. Tidak oranglain.

Dering ponsel mengagetkan Jana.
"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, kenapa Qorni?" kata Jana setelah membaca nama teman Gema di layar.

"Buku gue ada di Gema ga sih?" kata lelaki itu dengan bingung.

Kerutan di dahi Jana muncul. "Kok tanya sama gue, kan Gema tuh sangkut pautnya."

Terdengar decak dari seberang. "Ya lo liat di lemari buku Gema, atau dimana gitu. Tolong, Jan. Besok ujian nih. Gue mau belajar."

"Ntar dicari, Gue lagi ga di rumah."

"Oh gitu, sama siapa?"

"Gema. Tapi belum dateng."

"Gema? Dia kan lagi jalan sama adeknya," sahut Qorni santai.

Pegangan pada ponsel menjadi kaku, wajahnya kini kosong. Jalan dengan adiknya? Bahkan lelaki itu punya janji dengan Jana! Merasa airmata hendak jatuh langsung dia mengusap kasar.

Qorni memecahkan keterdiaman. "Jan?"

Agak serak Jana menyahut. "Ntar Gue cari buku lo. Btw makasih ya, wassalamualaikum."

Fakta apalagi ini?
Kepala perempuan itu menunduk dalam, menopang wajahnya sambil menahan isakan pedih. Sulit sekali bagi Gema untuk membicarakan baik-baik. Tidak seperti lari-larian begini.

Gema berubah. Jana tak habis pikir, dia rindu dengan kehangatan lelaki itu dibanding raut tidak berekspresi. Dia ingin suara Gema mengalunkan Quran disertai elusan pada permukaan perutnya, menyapa bayi mereka hingga saling melempar tawa. Jana rindu.

Perasaan Jana saat ini? Merasa dipermainkan! Jelas. Terang-terangan dia bermain kata ingin membangun hubungan tapi sekarang? Jika tidak mau ya jangan berjanji begini, soto Malang jadi tidak menggugah selera. Rencana menikmati hidangan kesukaan Jana berdua dengan Gema pun kandas. Kenapa Gema?

Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang