• Dua puluh tujuh

4.4K 306 1
                                    

Semua kejadian membuat Jana pening. LSD yang belum diketahui. Belum terbongkarnya kasus Amico dan berubahnya sikap Ibu. Apa ini yang dimaksud Papah?

Masih diam. Jana tak bisa mengatakan prasangka khawatir ini akan jadi fitnah. Mana mungkin Ibu gila, oke dalam beberapa saat mertuanya itu banyak berubah yang berhasil membuat Jana bertanya-tanya heran tapi tak mungkin dia juga membunuh Amico. Dengan alasan apa? Sejauh ini Jana rasa Ibu bukan pembunuhan.

Suara Papah membuyarkan Jana.

"Hati-hati Jana."

"Maksud Papah gimana?" Keheranan tak dapat tertutup.

Dilihat Papah mengambil napas pelan-pelan, menyenderkan tubuhnya ke kursi. Mengalihkan pandangan, banyak hal yang akan terjadi seandainya anak bungsunya ini mengetahui fakta. Cukup kebenaran tadi sudah terkuak jangan yang lain. Tidak baik untuk keselamatan Jana. Cukup Papah menanggung.

"Sudah jangan pikirkan," nasihat Papah sambil terpejam.

Tak puas, Jana protes. "Kenapa sih, Pah! Jana mau tau."

Papah menghela napas sambil berdiri. "Nggak."

"Papah!" Jana berseru kesal.

Sesaat Papah menoleh memperhatikan raut keras dari Jana, fotocopy-an dirinya. Kemudian dia mengangkat kedua alis.

"Jangan banyak pikiran. Fokus sama kandungan kamu aja," ketegasan sangat kentara. Jika terkuak sekarang kandungan anaknya akan bahaya, fakta Jana masih remaja membuat penyesalan kembali terpatri.

Bukan  Jana jika tidak dijawab, sambil mengikuti Papah. Dia merayu dengan nada manja.
"Please ...  Papah sayang," tangan sengaja disangkutkan di lengan Papah. Wajahnya memohon.

Tangan Prasetyo tidak bisa menahan untuk mengusap kerudung biru dongker yang Jana kenakan. Kini dengan nada lembut. Perasaan Ibu hamil memang sensitif bukan?

"Tetep ngga bisa."

Jana mencebik, sia-sia usahanya untuk mendapat jawaban Papah. Lsd! Mungkin Papah bisa memuaskan rasa ingin tau dalam beberapa minggu terakhir menghantui Jana.

Jana digenggam untuk duduk di tepi kolam, Papah masuk ke rumah.

Mudah-mudahan Papah mau buka mulut. Sebenarnya rasa ingin lupa sudah terencana mengingat bosan juga tidak ada kepastian informasi.

Kedatangan Papah membuat Jana mengalihkan tatapan, mengambil cangkir darinya. Melongok sebentar lalu mengulas senyum tipis. "Makasih."

Prasetyo menjawab singkat. Dia tidak mengalihkan perhatian dari kolam berenang, berbagai permasalahan terutama berkaitan dengan anaknya ini bukan perkara mudah.

"Pah."

"Hmm?"

"LSD apa?"

Spontan netra cokelat itu membulat sebentar langsung, membikin Jana bingung.

"Darimana kamu tau," tanya Papah dengan nada datar nan menusuk. Membuat nyali Jana menciut.

Jana tertunduk. "Ngga, Pah."

"Jawab," desis Papah terlihat sangat serius.

"Jangan marah," perempuan itu merengek sambil mengusap perutnya, karena ketakutan dia merasa tendangan sekali. Aura Papah kembali muncul Jana kan merasa kembali diseret pertengkaran merek.

Prasetyo mengambil dua cangkir itu lalu menaruhnya di tempat kosong kemudian benar-benar memusatkan pandangan. Kini lebih tenang tanpa emosi.

"Dari siapa kamu tau," tanya Papah, kali ini dengan nada datar. Tapi masih ada nada menginterogasi. Dia tak pandai berprilaku lembut.

Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang