• Sembilan

6.2K 418 4
                                    

Najla masih setia memeluk tubuh adiknya yang sesegukan. Sesekali menikmati suasana malam dibelakang rumah, tidak merasakan seram karena lampu-lampu diberbagai tempat. Dirasa saat tepat untuk berbicara Najla memulai pembicaraan.

"Kamu pengen tau Mbak sama Ibu keukeuh bilang Gema baik?" cetus Najla pelan.

Mendengar pertanyaan itu lantas Jana mengangguk dan meredakan tangis. Apalagi sikap Gema tadi seperti hero baginya, jika tidak datang mungkin Jana sudah berada di rumah Om Ridwan.

Tangan Najla masih mengusap punggung adiknya, menarik napas sebentar. "Seharusnya kamu nikah sama Om Ridwan, bukan Gema," Jana melebarkan bola matanya, benar-benar tak percaya Papah melakukan ini. Nyata. Airmatanya kembali keluar, bibirnya bergetar dan kepalanya menggeleng.

Ikut merasakan sakit. Najla membiarkan emosi adiknya kembali keluar. Dia juga tak menyangka Papah melakukan itu. Pertama mendengar pernyataan tersebut Najla langsung mempertanyakan keputusan dan menolak saat dijawab anggukan Papah. Bahkan adu mulut tak dapat terelakkan.

Berbeda tiga puluh lima tahun jjka mereka jadj menikah. Najla dengan suaminya saja hanya berseling empat tahun dan banyak permasalahan hadir, bagaimana dengan agegap sangat jauh begitu. Alasan Papah cukup dapat dipertimbangkan bahwa Ridwan ialah ustadz yang mempunyai perusahaan besar.

Kecuali mempunyai perusahaan, statusnya sebagai ustadz menurut Papah dapat mendidik Jana agar terhindar jerat dunia. Sekeluarga juga tau betapa obsesi Jana besar terhadap pendidikan bahkan bermimpi menjadi walikota. Papah tak berhasil mematahkan semangat Jana, alhasil dia memilih jalan perjodohan.

Tetap saja Najla menolak. Dia bernegosiasi agar dibatalkan. Apapun alasannya tetap obsesi Papah adalah perusahaan. Tau sekali dia, bagaimana cara berfikir Papah.

Najla tersentak saat Jana mendudukkan diri dan menatap dengan kalimat lanjutkan yang tadi.

"Entah info dari siapa, Gema melamar kamu. Meyakinkan Papah bahwa kamu pantas buat Gema. Kamu terlindungi dalam dekapan Gema. Paling penting, Papah sangat tertarik saat Gema bilang dia akan membuat kamu berubah.

"Akhirnya kamu menikah dengan Gema, yang setau mbak sudah dipilihkan istri oleh ayahnya. Tapi dia milih kamu."

Najla memegang tangan Jana, mengusapnya. Memandang tepat pada manik mata hitam legam mirip Papah. "Jangan kecewakan Gema. Dia rela mengorbankan diri demi kamu. Perempuan yang dijodohkan dengan Gema, lebih baik secara agama dari kamu. Maaf nih mbak ngomong gini, tapi itu jadi perenungan bagi kamu. Tanya Hema coba, kenapa dia milih kamu."

Kepala Jana langsung tertunduk, dia merasa bodoh dan tak tau berterimakasih. Sudah ditolong malah menyakiti Gema.

Kejadian-kejadian dimana sikap Jana ketus, dingin dan sinis membayangi pikiran. Bagaimana perasaan Gema saat itu.

"Jana ke Gema dulu, mbak."

Sebelum masuk kamar, dia memesankan Mbak Puput untuk membawakan bubur kacang hijau dan minum. Sambil menunggu Mang Eman yang membelikan bubur kacang hijau. Mungkin agak lama, soalnya jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Jadi Jana membuka kulkas dengan tangan kiri, mengambil plastik marshmello. 

Dikarenakan tangannya yang kanan masih sangat sakit, dia kesusahan. Mbak Puput tiba-tiba berada disampingnya, menawarkan diri. Isi plastik itu sudah berpindah ke mangkuk. Jana lantas membawanya ke kamar, kalau sekarang nanti bakal diganggu Mbak Puput mengantarkan bubur. Rencananya dia berbicara dengan Gema tanpa gangguan. Jadi lebih kondusif.

"Mau di kompres, Jan?"

Pandangannya beralih pada wanita berumur hampir lima puluhan itu dan mengangguk. Saat menyingkap kain di bahu dia meringis.

Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang