• Enam

7.8K 465 4
                                    

"Eum, Jan," Gema memanggil.

"Hem," jawab Jana masih memunggungi, kelopak mata setengah terpejam.

"Lo hamil?"

Sontak mata perempuan itu membuka sempurna, dia dilanda kecemasan. Tanpa minat berbalik dia menyahut dengan nada khawatir. "Kenapa lo tanya gitu?" lirihnya.

Gema memposisikan diri untuk memandang langit-langit kamar, beberapa tempelan bintang bersinar dipasang oleh Jana. Perubahan demi perubahan yang dilihat dari perempuan ini menguatkan argumentasi nya. Dia bahkan telah beranggapan Jana hamil.

"Moodswing, sering ngidam dan perut lo agak buncit."

Tangan Jana langsung mengusap permukaan perut, berulang-ulang kali. Untuk pendapat sebelum memang diakui oleh Jana, tapi yang terakhir? Dia tidak tau.

"Gue gak hamil!" pekiknya tajam membuat Gema langsung menatap. Balik badan.

Mata perempuan yang kini memandangnya berapi-api sangat tajam. Perlahan Gema menyingkap baju tidur Jana, langsung dicekal oleh sang empunya.

Gema kembali berkata tegas. "Biar percaya, Jan. Gue gak mungkin ngomong tanpa pikir dulu."

Dengan keraguan dibiarkan tangan lelaki itu menyentuh permukaan perut, dua tangannya menangkup perut, satu tangan dibawah dada dan satu lagi pada perut bagian bawah. Bulat! Jana terperangah, airmata nya jatuh.

Dia menggeleng cepat sambil menepis tangan Gema. Memunggungi lagi.
"Gue gak mau hamil!"

Gema mendesah pelan, memilih untuk berbaring berusaha tertidur. Mata kebencian kembali tersulut, lelaki itu tidak siap untuk kembali dibenci oleh Jana.

::

Alat pipih itu jatuh seiring airmata perempuan itu, tubuhnya lemas, terduduk. Pikirannya buntu, tidak siap punya anak. Jana tau dia hanya diperintahkan untuk hamil dan melahirkan setelah itu boleh kuliah, itu juga mungkin. Masa sih mereka melarang juga! Namun punya anak bukan sekadar itu saja, harus mendidik dan membentuk karakter mereka.

Layaknya membangun rumah, pondasi dan bahan-bahan harus terbaik agar bertahan lama dan tidak rusak dihantam angin, hujan dan terik matahari. Anak juga begitu. Pondasinya kuat dan bahan-bahan adalah didikan orangtuanya sedangkan bermacam rintangan adalah pergaulan.

Jana tidak bisa melihat kelakuan anaknya nanti menjadi buruk, tidak. Dia sangat menghindar, tapi Jana belum siap! Demi Allah! Dia belum siap.

Disandarkan kepalanya ke dinding kamar mandi, menggesek kepala kanan-kiri memejam mata. Ya Rabb, Jana salah apa. Dia benar-benar belum siap. Dirinya saja banyak kekurangan masih labil, emosional dan tidak terlalu suka anak-anak.

Bagaimana ini, Jana frustasi. Dia menggeram pelan mengingat orangtuanya yang tega menjual demi perusahaan, terdengar jahat, sebenarnya tidak menjual lebih tepatnya menukar demi perusahaan. Sama saja kan dengan menjual.

Dada Jana terasa sesak, mengapa Papah dengan mudahnya melepas Jana membiarkan Najla waktu itu bebas di amerika sana beberapa tahun. Benar-benar tidak adil! Airmatanya turun lebih deras, Jana tidak pernah meminta apapun. Menurut saja. Lantas mengapa harus memaksa kehendak?!

Ponsel dekat tempat peralatan mandi bergetar membuat Jana mengambil dengan perlahan, perutnya agak sakit. Ketika memegang perut, benar kata Gema. Buncit. Jana semakin terisak, bagaimana nasib anaknya nanti.

Leyna.

Dengan gemetar dia mengangkat.

"Astagfirullah, Jana! Dua bulan lo gak ada kabar. Kemana hah!" sambut di seberang dengan teriakan.

"Ley," kata Jana, bibirnya gemetar. Nadanya lirih, dia butuh pelampiasan.

Suara sahabatnya itu melunak, Leyna melupakan emosinya dulu. Dengan lembut bertanya, "Jana, lo kenapa?" sudah menguap kekesalannya mendengar suara lirih sarat luka itu.

Tubuh Jana semakin merapat dengan dinding, menghadap kearah bathtub dan menyenderkan kepala disana.

"Ley, gue gak mau hamil, ley," perasaan Jana benar-benar tertekan dia menahan sakit dalam dada yang begitu menyiksa. Matanya dengan cepat membengkak melihat hasil lima testpack. Terlalu banyak mengeluarkan airmata dan pikiran negatif.

Tubuh Leyna diseberang langsung kaku, pendengarnya sangat tajam  berada dikamar dan hanya sendiri, sunyi pula. Sambil membenarkan posisi duduk, dia menggigit bibir sebentar.

"Apa Jan? Ulangi." dentum jantung Leyna berkoar-koar dalam dada.

Jana semakin tersedu-sedu, menjambak rambutnya kasar merasakan kekecewaan pada hidupnya. Dia lelah, sungguh. "Gue hamil Ley. Kenapa Allah jahat banget Ley. Gue mau kuliah di UI ... Bareng lo. Administrasi negara, kita kost bareng, ikut organisasi dan lulus cumlaude. Leyna gue nggak mau hamil, Ley. Gak mau."

Dari sudut mata cairan bening meluncur, Leyna berusaha untuk tegar, membayangkan betapa mengenaskan Jana membuatnya ikut nelangsa. Sudah bertahun-tahun bersama, suka duka ditelan Leyna tau sifat serta sikap Jana ketika putus asa.  Dia jadi ikut merasakan. Hamil? Kata tak pernah dia bayangkan sebelumnya, pasti sesuatu tengah terjadi. Dua bulan tanpa kabar membuat Leyna hampir pusing memikirkannya. Namun, bertanya kenapa bisa terjadi bukan tindakan pantas, apalagi Jana tengah frustasi.

Menghirup udara dalam-dalam, melepaskan pelan. Leyna berujar tenang. Jana butuh motivasi.
"Everything will be okay, just trust Allah the best planner."

"NO!" sanggah Jana cepat. "Dia bikin gue nikah, hamil dan putus sekolah, Ley. Apa salah gue?! Tau dosa gue banyak tapi Ley, apa harus segininya? Mau nyerah aja, capek."

Leyna menghela napas. Satu-satunya cara adalah bertatap langsung dengan perempuan ini.
"Jana, we meet?"

Menarik napas, Jana mengusap matanya. Menimbang sesaat. "Gue izin dulu."

"Okay," Leyna terdiam. "Jana, Allah baik."

Jana mengangguk, sesal melingkupi hati berkata begitu tadi. Dia terbawa suasana. "Gue tau."

Sambungan terputus.

Berusaha berdiri, Jana mencari pegangan dan memantapkan langkah menuju cermin, melihat wajahnya bersimbah cucuran air mata. Diambilnya sisir kemudian merapihkan rambutnya.

Istri. Ibu.
Jana belum siap.

Pintu terbuka, Gema terkejut hampir kembali menutup sebelum pandangannya jatuh pada satu testpack yang tak sengaja diijak karena alat itu ada di dekat pintu kamar mandi, dia mendekati Jana.

Perempuan itu melihat wajah kebingungan serta meminta penjelasan dari Gema.

"Iya. Puas kan lo?!" sinis Jana.

Gema menunduk. "Gu-"

"Bilang aja iya, Ge! Gausah munafik."

Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang