• Delapan belas

4.6K 335 7
                                    

Jana tak henti menggosok spon ke pintu mobil, wajahnya sangat serius. Harus bersih pokoknya. Dari kejauhan Gema yang baru mengambil selang air tersenyum tipis kemudian dengan mendaratkan colekan pada dagu perempuan itu.

Jana nengok dan melotot kesal. "Gema ih!" dia berdecak kesal, mengusap kasar busa yang ada di pipi.

Tawa Gema keluar. Sambil menyambungkan air ke selang dia terkekeh ketika Jana membalas kelakuannya tadi. Perempuan itu duduk di bangku kecil sibuk mencoret wajah Gema.
"Jail nih," gumamnya pelan.

Jana semakin banyak merias wajah Gema dengan busa sabun, sambil terkikik geli. Gema sengaja memperlambat kegiatannya.

Saat perhatian Jana sedang ke arah ember penuh busa ingin mengambil amunisi, tak disangka Gema mendekatkan wajahnya.

Telapak tangan Jana sudah penuh oleh busa ingin kembali merias wajah Gema lagi seketika beku mendapatkan lelaki itu mempersingkat jarak diantara mereka dan dia menempel pada wajah Gema. Jantung bereaksi pertama, disusul wajah Jana yang membeku.

Jana tersadar dan langsung berdiri, tidak melihat kearah Gema.

"Ciee malu. Sini lagi dong main sabunnya."

Jana cemberut lucu kemudian melanjutkan menggosok mobil.

Suara pagar terdengar, Ibu masuk bersama Nisa. Ditangan keduanya menenteng belanjaan, saat Ibu melewati Gema dia menyapa singkat.

Mata Nisa menyipit. "Bu, Kak Jana ikutan cuci mobil tuh," tunjuknya.

Ibu menggeram. Membelalak marah. "Jana! Ngapain kamu! Susah banget dibilangin ya, kamu lagi hamil cucu saya. Jaga baik-baik! Mending masuk, sana!"

Tundukan kepala adalah respon Jana, padahal hanya bermain seperti ini. Gema sudah mengambil ancang dengan berdiri disampingnya. "Udahan ya, mandi aja, udah hampir jam sembilan. Kamu belum shalat kan?"

Jana mengiyakan dengan lesu. Hanya ingin membantu Gema, toh dari tadi suaminya itu tidak melarang. Posisi Jana pun tidak membahayakan janin.  Jadi dimana masalahnya?

"Ntar kita jalan-jalan," bujuk Gema yang sudah mengambil alih spon. Rasanya Jana perlu menghirup udara segar, terkurung selama lima bulan membuat stress.

Lupa kesedihan tadi juga mendengar kata 'jalan' berhasil mengembalikan mood-nya. "Puncak...  Ya, ya, ya."

"Iya," kata Gema sambil tersenyum tipis. Mengusap pipinya sebentar.

Kejadian sepasang muda-mudi itu tak terlewatkan oleh dua pasang mata dibelakang.

::


Tangan Jana mendorong jendela sedangkan matanya tak lepas dari buku novel. Saat merasakan hordeng terlilit, Jana mengalihkan pandangannya.

Kalian tau apa yang sekarang Jana lihat. Berhasil membuat matanya membulat, bibirnya bergetar dan buku terjatuh. Jantung rasanya ingin lepas.

"Aaaaaa!" Jana berlari menuju kamar mandi, menerobos hampir terpeleset sebelum Gema menangkapnya. Tau apa selanjutnya? Pastilah kondisi Gema tengah telanjang, saat menemukan wajah ketakutan tak mau melepaskan pelukan dia harus membilas tubuh dan memakai handuk dulu. Tapi Jana enggan melepaskan. Untung suami-istri.

Ini tak benar.

"Jan, sebentar," kepala perempuan itu menggeleng semakin merapatkan diri. "Sayang, Aku selesai mandi dulu."

Sangat ketakutan membuat Jana perlahan melepaskan tanpa sadar kondisi. Dia berdiri bersandar, menatap keramik dengan pandangan ngeri dan hati dagdigdug. Bangkai kucing digantung pada jendela. Darah masih ada, bulu yang rontok dan cabikan pada leher. Aroma tak sedap masih teringat jelas. Membuat Jana bergidik ngeri, menutup mata kuat-kuat.

Jana gemetar saat Gema merengkuh, membimbing ke luar kamar mandi. Masih keadaan terdiam, mata memancar kekosongan dan bibir bergetar. Dia menunggu lelaki itu selesai berpakaian. Tidak ada pembicaraan lagi, selesai ganti baju baru membuka pembicaraan.

"Kenapa?" tanya Gema mengusap surai hitam milik istrinya. Wajah penuh ketakutan membuat pandangan Gema tak beralih.

Telunjuk Jana mengarah pada jendela tanpa melihat kearah sana. Membuat Gema memusatkan perhatian pada objek itu kontan melotot, mendekati  ingin detail pada objek menyeramkan itu. Jana ikut dari belakang, ingin merapatkan tubuhnya tapi terhalang perutnya. Alhasil seadanya saja.
Gema membawa Jana di samping, menggenggam.

Jari lelaki itu menelusuri jasad kucing itu, fokus. Hingga pekikan Jana serta tangisan membludaknya membuat Gema harus menenangkan perempuan itu.

"Amico!"

Pandangan Gema berhenti, dia memejamkan mata. Seluruh tubuhnya jika tidak dikontrol akan gemetaran. Tapi dia harus tenang, dalam situasi ini harus dia pihak paling waras. Bagaimana tidak, kucing berbulu emas dengan sobekan di leher, kaki tinggal satu berhasil digantungkan dalam keadaan seperti itu.

Gema tidak tau dia bingung sekali, teror ini pasti sengaja dibuat bukan alami. Faktanya selama ini Gema selalu bersikap baik semampunya, pernah bertengkar terakhir kali di sekolah dasar. Tidak mungkin jika terbawa hingga sekarang.

Sesegukan Jana mengalihkan pandangannya. Dia harus menenangkan perempuan ini.

Saat makan malam, Gema memberitahu kepada keluarga dan ekspresi keterkejutan jawaban oleh mereka. Ibu paling memandang ngeri.

"Kamu jahatin siapa Ge?" tuduhnya.

Kepala lelaki itu menggeleng. "Gema ngga pernah punya niat jahat sama orang bu, sejauh ini Gema nggak berurusan sama siapapun."

Putri membuka mulut, memandang dengan menyipit. Memandang Jana dengan selidik. "Kak Jana, Lo punya musuh?"

Dengan sisa ketakutan Jana juga geleng kepala, menunduk sebentar. "Jana nggak pernah ingin punya musuh dan sama kayak Gema sejauh ini Jana nggak berurusan sama siapapun."

Lain hal dengan Nisa, walau rautnya agak kaget dia lebih santai menanggapi. "Gak ada jaminan lo gak punya musuh."
Setelah itu dia mengunyah nasi dengan lahap. Mengabaikan Putri yang menatap tajam.

Ibu mengibaskan tangan dan berujar tegas. Tidak ingin ada perdebatan. "Sudah-sudah, habiskan makannya. Jangan bicara saat makan."

Seusai makan Jana beranjak menuju kamar, tapi mengingat Amico diurungkan niatnya. Dia duduk di sofa, berhadapan dengan televisi yang menyetel film. Pastilah otaknya tak terfokus, masih sangat jelas jejak kucing kesayangannya itu mati.

Seseorang mendaratkan kecupan pipi, berhasil mengalihkan perhatian Jana. Dia menoleh dan mengerucutkan bibir, sedangkan lelaki itu tertawa.

"Cium-cium mulu," kata Jana melayangkan protes. Alisnya berkerut kesal, tangannya bersilang diatas dada.

Bukan menjawab Gema malah memeluknya dari samping. Sangat lengket membuat Jana sesak, hingga gerakan dalam perutnya membuat Gema melepaskan.

Tangan Gema itu mengusap lembut perut Jana yang langsung mendapat sahutan dari anaknya itu.

Karena gemas, Gema tak bisa menahan diri untuk tidak mendekatkan wajahnya ke perut Jana.

"Jan ke kamar yuk," ajaknya.

Perempuan itu menatap ragu.

Seakan tau apa yang dipikirkan, Gema bangkit dan membantu Jana berdiri. Melingkarkan tangan pada pinggang Jana. "Ada gue, tenang ya."

"Takut, ge."

"Kalo lo berfikir ada, nanti ada beneran loh."

Jana memukul bahu. "Kok ngomong gitu."

"Beneran, Allah sesuai prasangka hambaNya."

Sesaat Jana terdiam. Sampai kapan juga merasa takut, tak mungkin terus-menerus. Jana mengangkat kepala, memandang manik mata memancarkan perlindungan itu. Ada Gema bukan?

Mendapatkan persetujuan Gema menggandeng Jana. Sesekali mengobrol dan tertawa.

"Perusak!"
Ujar seseorang.






Akrasia |✔|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang